presented by

ADI PANUNTUN: Disrupsi dan Oposisi

SHARE THIS
3.32K

Published by Sugar & Cream, Tuesday 11 August 2020

Text by Bambang Asrini Widjanarko, image courtesy of #BasriMenyapa & Adi Panuntun

Kamis, 13 Agustus 2020, 19.30 – selesai

Adi Panuntun dan Sembilan Matahari
Bincang virtual Basri Menyapa kali ini, pada seri ke-5 menjadi menarik, bintang tamunya seorang desainer, Adi Panuntun, hadir menggunakan pendekatan trans-disiplin seni, desain & arsitektur dalam digital multi-media serta peran utama penggunaan elemen cahaya, bahasa program digital compu-graphic pun modelling serta konsep sinematik.

Adi Panuntun adalah desainer sekaligus co-founder serta CEO PT Sembilan Matahari. Ia juga sebagai Chairman BCCF (Bandung Creative City Forum) yang mengaku bahwa dirinya dan tim Sembilan Matahari menghasilkan film yang dirancang dengan pendekatan baru, yakni: mengintegrasikan seni dan teknologi melalui pengalaman yang emosional.

Adi Panuntun, co-founder & CEO PT Sembilan Matahari

“Metode melihat dengan secara berbeda melalui film’ akan merangsang sensifitas kesadaran dan perubahan positif pada publik” ujarnya dalam wawancara. “Kita mencoba melalui pendekatan lintas disiplin dalam memproduksi film dipadu kemampuan membuat coding/pemrograman kreatif, yakni mencakup kreasi audiovisual dan multimedia yang impresif, interaktif, dan spektakuler” imbuhnya. Dan menurut Adi, dalam kerangka pandang desain, maka ia percaya bahwa sebenarnya mengubah cara berpikir melalui film akan memberi hasil desain yang paling inovatif.

Dari sinilah dikemudian hari proyeksi digital raksasa di outdoor dengan juluk video mapping menyeruak di awal 2010-an, dengan berbagai proyek “film-film pendek”raksasa di situs-situs kuno atau fasad bangunan bersejarah, dengan awalnya di Museum Fatahillah, Jakarta.

Mueum Fatahillah, Video Mapping 2010-2014, Adi Panuntun dan Sembilan Matahari

Sementara, kreasinya awalnya dalam film layar lebar berjudul Cin(T)a produksi tahun 2009, memang membuat Adi Panuntun diganjar Piala Citra untuk kategori Naskah Asli Terbaik juga penghargaan Festival Film Indonesia dan Favorit Pilihan Penonton di ajang JIFFEST 2009.


Presented by Som Santoso

Untuk kreasi video mapping Adi Panuntun memang pelanggan juara. Pada 2012, ia dan Sembilan Matahari meraih penghargaan Grand Prize Winner Projection Mapping Competition di Zushi Media Art Festival, Jepang.  Sementara seni instalasi dan video mapping sekaligus tertera di karya “Constellation Neverland” terpilih di Artjog 2012 Yogyakarta, selain Mapping Festival, Geneva-Switzerland, dan World of Projection Mapping, Kagawa-Japan, 2013 serta Techno Art Exhibition 2014 di Museum of Fine Arts Taiwan. Rangkaian juara ini adalah adalah semacam sebuah tour Asia-Eropa pada tahun-tahun itu.

Art Vision Moscow, Rusia, 2014, Adi Panuntun dan Sembilan Matahari

Masih pada 2014, ia dan Sembilan Matahari kembali meraih Juara I kompetisi video mapping internasional yang diikuti oleh ratusan partisipan seluruh dunia, Art Vision Competition – Circle of Lights, Moscow, Kompetisi Multimedia terbesar di Eropa. Yang terakhir, pada 2017 di Jerman dalam Berlin Light Festival, Sembilan Matahari memboyong Juara I sekaligus kategori Favorit pilihan penonton.

Berlin Light Festival, Adi Panuntun dan Sembilan Matahari memboyong Juara I sekaligus kategori Favorit pilihan penonton.

Arsitek Budi Pradono dan Mediascape
Dalam bincang virtual Basri Menyapa ke-5 kali ini, menghadirkan pula seorang arsitek dan urbanis Budi Pradono yang akan menjadi penanggap ahli, yang akan merespon presentasi karya-karya Adi Panuntun.

Menurut Budi, Adi Panuntun mampu menyajikan “mediascape” sebagai sebuah imaginary space yang mengaktivasi ruang publik, dengan menciptakan atmosfir melalui strategi membuat “bluring” batas-batas antara realitas dan yang imaginary dengan manipulasi digital, sinematografi dan musik dalam sebuah integrasi tak terpisahkan.

Gedung Merdeka KAA 2015, Video Mapping, Adi Panuntun, dan sembilan Matahri

“Saya mengamini arsitek dekonstruksionis tenar Perancis, Bernard TSchumi yang percaya bahwa: there is no architecture without event!”ujar Budi menambahkan.

Dalam produksi digital video mapping, Adi Panuntun memang berhasil mengorganisir problem kompleks tentang lokasi, resolusi proyektor, permodelan fasad, narasi visual, 3d polygonal modeling, musik dan desain interaktif, serta pengetahuan dasar sinematografi dan fotografi.

“Bagaikan sebuah orkestra dimana interaksi masyarakat di sekitarnya ikut diajak berperan aktif dalam satu kesatuan yang boleh disebut responsive digital environment” imbuh Budi Pradono.

Video Mapping Gedung Sate 2012 , Adi Panuntun dan Sembilan Matahari

Dalam perspektif lain, arsitek ini juga menyatakan bahwa keahlian Adi Panuntun adalah keniscayaan menyambut hiruk-pikuk budaya pop anyar, yang disambut publik berbagai usia di sepenjuru jagat. Yang menurutnya, mampu secara responsif karyanya menghidupkan kembali ruang publik yang “sekarat” di area urban.

Sebab dalam beberapa perspektif, intervensi fisik diperlukan bagi sebuah kota yang dinamik dan ini berbiaya tinggi. Sementara, karya-karya video mapping diperlukan kehadirannya tanpa perlu membangun ulang secara fisik sebuah kompleks tertentu. “Hal ini menjadi satu elemen mendasar untuk survival di era New Normal. Aktivasi ruang publik dapat dibuat tematik dengan narasi yang spesifik untuk mengaktifasi lingkungan urban yang mati” ujar urbanis pemilik BPA studio ini.

Scenography, Adi Busana dan Enterpreneurship
Dalam seni pertunjukan tari dan teater, karya Adi panuntun menjumput elemen penting menghadirkan apa yang disebut sebagai scenography, sebuah kemampuan mengatur  dan menterjemahkan tata panggung, skenario dan arahan sutradara/director dalam audio-visual yang sekaligus menghadirkan pencahayaan untuk menghidupkan panggung utama yang kita bisa lihat karyanya di “Journey to Thousands Temples” di kompleks Candi Prambanan pada 2016.

Sementara karya-karya yang berkolaborasi dengan desainer mode, yakni Biyan pada pergelaran Adi Busana berjuluk SERUNI pada 2016 lalu di JCC, Adi Panuntun memilih kombinasi instalasi dan video mapping “Constellation Neverland” seperti sebuah rangkaian awan, hujan dalam kabut cahaya dan kapas yang menggambarkan atmosfir fantasi eksotis yang membuat cat walk dan para model dan gaun yang dikenakan terlihat anggun.

Karya dan sosok Adi Panuntun dengan Sembilan Matahari adalah pionir dalam menyuguhkan tenologi digital terbaru baik dalam skala, dimensi dan tujuan-tujuan pragmatik pun filosofis sejak kita memasuki alaf anyar, abad 21.

Tema Basri Menyapa ke-5, Disrupsi dan Oposisi bisa dikaitkan pula dengan tata cara industri kreatif, terkait kehadiran Adi Panuntun, yakni melihat pencapaiannya dengan tumbuhnya permintaan penciptaan wahana-wahana hiburan model baru di wilayah privat pun publik seperti: museum Astra International dan membangun wahana museum milik negara dengan terobosan-terobosan ruang dan elemen estetik interior.

Museum Astra International, 2016, Adi Panuntun dan Sembilan Matahari

Sebagai salah satu contoh: ruang sinema imersif milik Museum Bank Indonesia serta beberapa diorama digitalnya. Atau karya commison work-nya di Riyadh, Saudi Arabia dengan video mapping sebuah bangunan bersejarah.

Immersive Cinema Bank Indonesia, Desain Interior, Adi Panuntun dan Sembilan Matahari

Pada #Basri Menyapa ke-5, ada sebuah sesi ke II, bincang karya terbaru Sembilan Matahari dan Adi Panuntun tentang karya Wahana Kala, Kini dan Nanti di dalam link tautan Virtual Reality, Augmented Reality hingga XR (Hybrid Reality) yang bisa diakses di gadget para apresian bincang online ini.

Wahana Kala, Kita Nanti, Virtual Reality, 2019, Adi Panuntun dan Sembilan Matahari

Orang-orang kreatif di wilayah industri kultural, seperti seniman, desainer atau arsitek memang seharusnya paling siap merespon tantangan perubahan-perubahan cepat teknologi. Yang berarti, justru kehadirannya dalam perspektif kreatifitas memberi berkah ditengah musibah pandemi, tentu dengan kreasi dan imajinasi tak henti. Bukankah wabah, mempercepat tiap orang untuk tetap melaju dan berbenah?

Disrupsi dan Oposisi: Bincang Virtual Basri Menyapa Adi Panuntun
Era digital memang tak terhindarkan sebagai sebuah disrupsi atau kondisi zaman yang terinterupsi dengan teknologi digital, yang terhubung dengan data raya di jagat virtual. Sifatnya yang melimpah, mudah, dan murah sekaligus canggih membuka kesempatan sekaligus tantangan.

Orang-orang kreatif dalam wilayah kultural, seperti seniman, desainer atau arsitek merespon tantangan perubahan-perubahan cepat itu dengan sigap. Setiap mantra reaktualisasi dan revisi realitas pada era sebelumnya diaggap sebagai aksi oposisi yang dinamis.

Oposisi menjadi semacam kondisi berseberangan atas relasi diantara dua proposisi, yang berhubungan dengan subyek yang sama: teknologi digital abad 21. Orang-orang inilah yang membedakan dalam kualitas dan cara penggunaan teknologi itu dengan masa lalu, khususnya di era abad ke-20.

Beberapa konsep yang dianggap visi baru dalam wilayah seni, desain dan arsitektural adalah penggunaan media baru pencahayaan, imej yang bergerak (moving image) sampai bentuk-bentuk sinematik yang interaktif berskala gigantik.

Selain itu, munculnya manipulasi digital (imej dan suara lewat perangkat elektro-digital dan bahasa program komputer) yang dianggap progres terkini membentuk kesadaran anyar antara yang ilusif dan yang fisik dengan piranti VR (virtual reality) atau XR (cross reality).

Pada teknologi berbasis visual, sejarah seni rupa berhutang pada sekitar 1960-an di Amerika Serikat tatkala sinyal elektronik menarik perhatian publik sebagai instrumen dan transmisi visual dengan konten kritik pada kehidupan global, teknologi itu sendiri, sampai konsumerisme pun kapitalisme melalui perangkat TV. Saat itu, kita mengenal karya instalasi Magnet TV (1965), dengan seniman Nam June Paik yang kemudian tenar dengan konsep Video Art dalam paradigma seni media baru.

Coulisse | INKZipblind & VF