Entang Wiharso’s ‘PROMISING LAND’ Chapter 2
Published by Sugar & Cream, Friday 04 December 2020
Text by Bambang Asrini W, images courtesy of Can’s Gallery
Bincang & Presentasi Virtual: 10.00 AM WIB Indonesia, 7 December 2020
Bincang Virtual yang didukung Can’s Gallery Indonesia akan memaparkan pembahasan karya-karya terakhir Entang Wiharso selama dua tahun, yakni: 2019-20. Acara virtual ini dimoderatori oleh Kurator Bambang Asrini Widjanarko.
Waktu : 10.00 AM WIB Indonesia
Tanggal : 7 December 2020
Livestreaming : Zoom & Youtube
Sejak Entang mendapatkan fellowship dari John Simon Gugenheim Memorial Foundation pada Juni 2019-Juni 2020 di New York, AS, karya-karya terbarunya menunjukan kejutan-kejutan visual dan konsep-konsep estetika yang beragam terbilang baru.
Detail Digital painting Asian American Thanksgiving Dinner 2020
Karya Dua tahun itu juga dipengaruhi relasinya dengan karya-karyanya yang terdahulu bahkan sejak 2009- 2010-2011 sampai 2016-2017.
Promising Land Chapter 2 secara substansi memuat:
1. Lansekap fisik, yakni Entang meriset kontur tanah, topografi, karakter dan jenis populasi pun tipikal obyek dan artefak fisik serta sarana-prasana sebuah tempat secara optikal di Amerika serikat
2. Lansekap psiko-geografis merujuk pada tafsir Entang tentang sebuah tempat khusus dan pengalaman personalnya berkelindan dengan tempat secara lebih luas. Semacam upaya menggambarkan ingatan komunal Masyarakat Amerika Serikat dengan kode-kode visual dan menjadi perwakilan psikis masyarakat itu.
3. Entang menafsirkan Lansekap Fenomena, yakni sekumpulan peristiwa sejarah dengan usahanya menyingkap, terutama peristiwa-peristiwa khusus yang besar dan penting yang terjadi di Amerika pada masa lalu dan yang terkini. Kemudian ia kaitkan pengalaman sangat personalnya dan .Indonesia/Asia dan Amerika Serikat/Barat.
Sedangkan inti karya seninya selama 25 tahun terakhir Entang adalah:
• Narasi mitologi berusia berabad-abad dengan mewakilkan sosok-sosk enigmatik yang dikombinasikan kehidupan terkini gaya hidup hyper connected via internet abad ke-21. Dari masalah universal tentang kekuasaan, tragedi, cinta dan kemanusiaan sampai rasa penasarannya dengan konsep ideologi, filsafat pun geografi.
• Entang membingkai sedemikian rupa ekspresi visualnya dengan strategi kritik sosial, provokasi kognitif tentang identitas dua budaya sampai gambaran yang rumit tentang psikologi ambang bawah sadar diri manusia.
• Materi dan Medium ekspresi yang digunakan beragam dari logam industrial, akrilik dalam lukisan, glitter sampai instalasi besar dan juga obyek dwi matra, semacam patung tiga dimensi juga instalasi
• Entang seringkali menggunakan visualisasi karya yang dramatis, entah video, lukisan pun instalasi yang bermateri aluminium industrial serta seni performansnya
Sejak lama Entang memiliki Dua Budaya
Entang Wiharso yang menamatkan studinya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, yang ia memang mengintimasi dua budaya. Dia memilih menikahi warga Amerika Serikat, Christine Cocca yang juga lulusan Seni grafis, S2 manajement seni Carnegie Mellon University dan banyak mengkurasi dan menuli seni di media.
Entang Wiharso at his Studio, Black Goat Studio, Rhode Island, USA
Sejak 1997 hilir-mudik Yogjakarta-Amerika Serikat, maka tak heran keluarganya yang memeluk fenomena bikultural dan birasial yang mewariskan keyakinan spiritual dan pandangan ideologi kolektif yang majemuk pula.
Tree for Tommorow, Glitter, 2020
Topik Identitas, Politik dan Pandemi
Program fellowship dari John Simon Gugenheim Memorial Foundation pada Juni 2019-Juni 2020 di New York, AS membuat Entang meneliti, dengan pengalaman identitas personalnya, mengamati serta memahami lebih mendalam bagaimana sebuah tempat atau geografi sebuah lokasi berelasi dengan sejarah, topografi fisik sampai peristiwa-peristiwa fenomenal berkonteks politik.
Presented by Zipblind
Simak wawancara eksklusif dengan seniman Entang
Bagaimana tentang iklim Politik di Amerika serikat dan karya-karya terbaru?
“Saya tahu bahwa begitu banyak konflik politik tahun-tahun terakhir ini di Amerika, dari isu rasial, gerakan black lives matter sampai bahkan mungkin gejala xenophobia dengan sebutan kuasa “white supremacy itu. Saya terkejut bagaimana teori konspirasi mendapat hati jutaan orang. Mereka tidak percaya fakta melainkan percaya pada fantasi dan narasi palsu,yang lebih memprihatinkan mereka anti science. Ini saya kira pengaruh besar dari pimpinannya. Saya kira Amerika akan kembali kejalan yang semestinya dibawah kepemimpinan Joe Biden.” katanya.
“Ini yang yang membuat saya mencoba menyusuri dan mempelajari masa lalu tentang sejarah Amerika, melihat jejak-jejak civil war, sejarah budaya dan seni, juga potensi traumatik tentang isu perbudakan masa lalu sekaligus rekonsiliasi sampai terbentuknya negara demokrasi terbesar sejagat ini. Saya tertarik persoalan ini karena mempengaruhi hidup saya sebagai pendatang” imbuh Entang.
Camouflage Portrait, Digital Painting, 2020
Sejak 2009/2010/2011 lalu, yakni instalasi Temple of Hope sebagai model awal, dengan menawarkan serial lanjutan terbarunya tentang Tunnel of Light, 2020, seperti energi spiritual-transedensi yang divisualkan oleh instalasi raksasa. Ada kaitannya dengan Proyek Gugenheim Anda?
“Proyek yang disponsori oleh Yayasan Gugenheim saya visikan bisa terealisasi di masa depan dengan instalasi raksasa yang riil, yakni Tunnel of Light kelanjutan dari karya lama Temple of the Hope (2009- 2011). Sebab saya telah membuat proyek penelitian panjang selama setahun dan kemudian hasilnya adalah presentasi visual model seperti yang kita saksikan dalam Bincang Virtual dan Presentasi Visual Desember ini” katanya menambahkan.
Detail Subversive Ornament Nobody Portrait ( Table Project No.3 ), 2020, 78 x 122 x 122 cm
Karya baru Anda ada yang menggunakan materi Glitter, bisa dijelaskan? (J)
“Saya menampilkan materi-materi baru, seperti Glitter, dalam The Camouflage Series (2020), yang menurut saya adalah materi yang sempurna untuk mengekspresikan ide-ide tentang yang palsu dan nyata, persepsi dan asumsi, serta tak pelak: identitas”.
“Selama beberapa minggu menjelang Pemilu AS November, saya menggarap karya dari materi Glitter, yang mencerminkan kondisi politik dengan merenungkan terus-menerus esok hari. Terciptalah Tree for Tommorow (2020) sebagai metafora atau simbol-simbol doa dan harapan untuk esok hari lebih baik untuk Amerika Serikat, Indonesia dan kondisi seluruh planet yang kita diami”.
Detail Tale of The Table No.2, 2020, acrylic on plywood
Anda membangun keluarga secara birasial dan otomatis mengadopsi keyakinan multikultural dan selalu gelisah menyoal identitas dan realitas yang dialami di Amerika? Jelaskan?
“Saya hidup dengan keluarga, bertetangga dengan sangat baik dengan komunitas masyarakat disana, kita saling mendukung. Tapi realitas politik disana berbeda, bahwa sejarah memberi petunjuk selain kondisi politik yang begitu banyak pertentangan ideologi pada masa lalu yang mengunggulkan orang kulit putih”.
“Yang justru, fenomena ini memberi sumbangsih besar sebagai semacam upaya reflektif dalam karya- karya saya” ujar Entang.
My Garden Is A Refuge Against These Fears, 2020
Tatkala Pandemi tiba, bagaimana Anda menyikapinya?
“ Pada awalnya saya panik karena minimnya informasi dan salang sengkarutnya informasi. Banyak persiapan dan rencana bagaimana melanjutkan hidup saya dan keluarga. Ini tantangan terbesar dalam hidup. Saya harus merenungkan sekaligus harus kreatif menghadapi wabah ini. Pengaruh aktifitas di studio tidak banyak berubah, justru sebaliknya waktu kerja distudio lebih banyak. Saya dituntun secara nalar sekaligus spiritual bahwa selayaknya memilah dan memilih materi berkarya, terus membangun daya nalar kritis yang dikembangkan menghadapi hoax di internet dan peristiwa-peristiwa mengerikan yang disiarkan saluran televisi privat di Amerika Serikat.”
“Saya menemukan bentuk, struktur, warna, tekstur tanaman, kebun halaman belakang rumah sampai metafor yang kaya bahwa pandemi 9 bulan adalah saat kita merenungi segala yang hingar-bingar diluar dengan hal-hal kecil yang sebenarnya indah, di dalam hati kita untuk berdamai tanpa menafikan kita terus menemukan apa yang terbaik bagi hidup kita. Kebun bagi saya adalah kepanjangan studio saya” kata Entang.
Karya-karya tentang Pandemi yang telah Anda buat, yang mungkin selaras dengan karya selama dua tahun ini? Bagaimana eksprimentasi lukisan digital di studio Anda di Black Goat Studio di Rhode Island, As?
“Karya selama dua tahun, bisa disebutkan City on The Move (2019-2020); yang kemudian saya andaikan sebagai kota-kota disepenjuru bumi terus saja berdetak apapun yang akan terjadi dengan ada atau tidak adanya wabah”.
“Akhirnya dunia digital menjadi alat merefleksikan ide-ide saya saat ini. Bukan hanya masalah kenyamanan dan kebaruan tetapiu teknologi digital membuka kemungkinan presentasi, mobilisasi dan kepemilikan yang berbeda. Tentang karya lukisan digital, Asian-American Thanksgiving Dinner (2020) adalah upaya saya bereksperimen dengan media baru dalam keniscayaan dunia siber yang tak hanya sebagai instrumen atau alat penyampai pesan tapi juga penyebaran konten kritis kemungkinan- kemungkinan daya cipta visual baru saat ini” katanya.
“Asian American Thanksgiving Dinner menarasikan setelah pemilu keluarga Amerika akan menyambut tradisi yang penuh makna dengan spirit kekeluargaan, kehangatan, berbagi setelah marathon hidup mereka dari kekacauan, konflik, racism, social justice, kelaparan, wabah Covid 19, jutaan orang di PHK dan antrian berjam jam untuk makanan (food stamp). Tradisi ini merujuk ratusan tahun yang lalu saat kaum pendatang (pilgrim) melakukan perayaan pasca panen dengan penduduk asli (Native American) di Plymouth, Mass, 1621.
Intinya Kaum kolonial Plymouth dan penduduk asli Wampanoag (native American) berbagi hasil panen, bergotong royong merayakan kesuksesan bercocok tanam pada musim gugur dan sekarang sebagai hari libur nasional Thanksgiving. Karya ini refleksi saya akan situasi sebagai petanda akan kepercayaan dan harapan akan hari esok yang lebih baik dengan spirit berbaik hati dan toleransi.” Imbuh Entang.
Promising Land Chapter 2 yang menjadi tajuk Bincang dan Presentasi Virtual Entang Wiharso ini kemudian segera menjadi gambaran kondisi terakhir planet yang kita diami. Sebuah impian akan Tanah yang Menjanjikan, lokasi yang ingin diraih untuk sebuah harapan.
PAÑPURI'S ART OF GIFTING COLLECTION – JOURNEY TO THE PEAK
Discover three new scents of the PAÑPURI's JOURNEY TO THE PEAK collection, which allows you to share happiness and well-wishes with yourself and your...
read moreNILUFAR AT SALONE ART + DESIGN IN NEW YORK
At Salone Art + Design in New York ( November 8-11, 2025) , Nilufar presented a curated selection of pieces that showcase the gallery’s vision of design...
read moreKAREN NIJSEN IN "Satu Langkah Satu Karya"
Remarkable "Satu Langkah Satu Karya", founded by Karen Nijsen, a finalist for Miss Universe Indonesia 2024 has a mission to promote environmental...
read moreMUSEUM MACAN ANNOUNCES KORAKRIT ARUNANONDCHAI’S FIRST MAJOR SOLO PRESENTATION IN INDONESIA
Museum MACAN presents Korakrit Arunanondchai's artwork, "Sing Dance Cry Breathe |as their world collides onto the screen" for the first time from November...
read moreA Spellbinding Dwelling
Rumah milik desainer fashion Sally Koeswanto, The Dharmawangsa kreasi dari Alex Bayusaputro meraih penghargaan prestisius Silver A’ Design Award 2017.
read moreThomas Elliott, Translating the Dreams of Spaces and Shapes
Selama hampir seperempat abad tinggal di Indonesia, simak perbincangan dengan arsitek dan desainer Thomas Elliott.
read more