presented by

SANGKRING ART SPACE: YOGYA ANNUAL ART #7 (YAA#7) – ‘FLOW’

SHARE THIS
2.44K

Published by Sugar & Cream, Thursday 14 July 2022

Images courtesy of Sangkring Art Space

The Act Of Living Is The Act Of Flowing (Masaru Emoto).

Creativity can be described as flow. It is like flowing water. The achievement of it can be done not in a comfortable, lazy or pampered life, but in a tension and intensity, because aesthetic activities always involve creative challenges that are not easy. It is only through the tension and intensity that the attention of an artist can be fully “immersed” ― a condition which in a psychological perspective is called a flow-experience. It is in this phase that the creative process of an artist fully flows. By its flowing nature, referring to Carl G. Jung, water is one of the universal archetypes or archaic symbols. When the philosopher Heraclitus formulated his adage, namely, panta rhei (everything flows, changes), he must be imagining life like water or a river, which is never permanent. It seems that Sunan Kalijaga was also contemplating the same problem: anglaras ilining banyu, angeli nanging ora keli (in harmony with the flow of water, flowing but not drifting). Water with its flowing nature is basically a core symbol of life. However, flow itself leaves ambiguity. It can be interpreted as ‘to flow’ or ‘the flow’. In this interpretative range ― the tension between verb and noun, dynamics (process) and statics (state) ― we can observe most of the artworks in YAA #7.


Keep on flowing! (Kris Budiman) media, for the second. Intermedially Soni Irawan translates musical sounds, which inevitably flow, into visual traces, especially parallelism and repetition. Meanwhile, the scope of expression of other artists covers traces of flow. Citra Sasmita and Ayu Rika follow the traces into the critical phases of the human lifecycle. Laila Tifah positions the river as a metaphor of loss. Beatrix Hendriani responds to the dynamics of passing events. Hari Budiono captures a brief momentum on the street that reminds us of the humor-laden phenomenon of mbeling poetry, while Raka Hadi Permadi fixes a moment of prayer that flows solemnly. Nindityo Adipurnomo, in a mediated performance, jumbo masks, missiles, and twigs, gives a bodily response to the conflictual turmoil in the context of the global political economy during the pandemic.


Presented by MOIRE Rugs

Irwandi, Pupuk DP, and Iabadiou Piko directly invite us into the images of change through flowing metaphors that are parodic, melted, or wavy. Kana Fuddy Prakoso and Taufik Ermas are the same, but through precipitation and osmosis. Dian Anggraeni adds a metaphorical intensity to the boat, the span of the hand like the horizon, and the vastness of the sky. Agus Baqul Purnomo and Riduan touch the same realm, but indirectly, through reflection. This dynamic process is also approached by Katirin, Joni Ramlan, Suharmanto, Elka Alva Chandra, and others. Oscar Motuloh and Dipo Andy at the same time add an ironic dimension of meaning when flow turns into wolf, for the first one, and fussiness of social media, for the second. when flow turns into wolf, for the first one, and fussiness of social Flow Flow,


And, of course, Nyoman Erawan through his special project will absorb us completely into the ritual process of purification, pangurip gumi, to restore the cosmic sanctity and harmony. If there is one focal point to be brought forward through this thematic preference, it is impermanence. Everything flows, from energy, light, space-time, to history, consciousness, even effortless action in Taoist philosophy ― in short, from physics to metaphysics. How our ideas and imaginations of all facets of life are ever-moving! Ad infinitum (cf. Danni Febriana).

Nothing is permanent, not even a pandemic. Keep on flowing! (Text by Kris Budiman)

Images courtesy of Sangkring Art Space

The Act Of Living Is The Act Of Flowing (Masaru Emoto).

Kreativitas dapat digambarkan sebagai flow. Ia serupa air yang mengalir. Capaian atasnya dapat dilakoni bukan dalam kondisi hidup nyaman, berleha-leha, atau enak-enakan, melainkan dalam sebuah tensi dan intensitas. Sebab aktivitas estetis selalu melibatkan tantangan kreativitas yang tidak mudah. Hanya melalui tegangan dan keintensifan, perhatian seorang seniman dapat sepenuhnya “terserap” ― suatu kondisi yang dalam perspektif psikologi disebut sebagai pengalaman-mengalir (flow-experience). Pada fase inilah proses kreatif seorang seniman betul-betul mengalir.

Dengan kodratnya yang mengalir, merujuk kepada Carl G. Jung, air merupakan salah sebuah arketipe atau simbol arkais universal. Ketika filsuf Heraclitus merumuskan adagiumnya, panta rhei (segalanya mengalir, berubah), dia tentu sembari membayangkan kehidupan seperti air atau sungai yang tidak pernah tetap. Agaknya, begitu pun Sunan Kalijaga ketika merenungkan problem yang sama: anglaras ilining banyu, angeli nanging ora keli (selaras dengan aliran air, mengalir tetapi tidak hanyut). Air dengan kodrat dasarnya yang mengalir adalah simbol pokok kehidupan. Walau demikian, flow itu sendiri menyisakan ambiguitas. Ia bisa ditafsirkan sebagai ‘mengalir’ atau ‘aliran’. Dalam rentang tafsiriah ini ― tegangan di antara kata kerja dan kata benda, dinamika (proses) dan statika (keadaan) ― dapat kita cermati sebagian besar karya dalam YAA #7.


Presented by MOIRE Rugs

Secara langsung Irwandi, Pupuk DP, dan Iabadiou Piko mengajak kita ke dalam citra-citra tentang perubahan lewat metafora mengalir yang parodik, meleleh, atau bergelombang. Kana Fuddy Prakoso dan Taufik Ermas demikian pula, namun melalui presipitasi dan osmosis. Dian Anggraeni menambahkan intensitas metaforis dengan perahu, rentang tangan serupa cakrawala, dan keluasan langit. Agus Baqul Purnomo dan Riduan menyentuh ranah yang sama, namun secara tidak langsung, melalui pantulan (refleksi). Proses dinamis ini dihampiri pula oleh Katirin, Joni Ramlan, Suharmanto, Elka Alva Chandra, dst. Oscar Motuloh dan Dipo Andy ― The act of living is the act of flowing (Masaru Emoto).

Menyentuh ranah yang sama, namun secara tidak langsung, melalui pantulan (refleksi). Proses dinamis ini dihampiri pula oleh Katirin, Joni Ramlan, Suharmanto, Elka Alva Chandra, dst. Oscar Motuloh dan Dipo Andy sekaligus menambahkan dimensi makna ironis ketika flow menjelma wolf, bagi yang pertama, dan keceriwisan media sosial, bagi yang kedua. Secara intermedia Soni Irawan menerjemahkan bunyi-bunyi musikal, yang niscaya mengalir, ke dalam jejak-jejak visual, khususnya paralelisme dan repetisi.

Sementara lingkup ungkap perupa yang lain menjangkau jejak-jejak aliran. Citra Sasmita dan Ayu Rika merunut jejak itu ke dalam fase-fase kritis daur-hidup manusia. Laila Tifah memosisikan sungai sebagai metafora kehilangan. Beatrix Hendriani menyikapi dinamika datang-perginya peristiwa. Hari Budiono menangkap momentum singkat di jalanan yang mengingatkan pada fenomena puisi mbeling yang sarat humor, sedangkan Raka Hadi permadi sebuah momen doa yang khusuk mengalir. Nindityo Adipurnomo, dalam sebuah mediated performance, masker-masker jumbo, rudal-rudal, dan ranting, memberikan respons ketubuhan atas gejolak konfliktual dalam konteks ekonomi-politik global semasa pandemi. Dan, tentu saja, Nyoman Erawan melalui special project-nya bakal menyerap kita secara total, memasuki proses ritual purifikasi pengurip gumi, untuk memulihkan kesucian dan keselarasan kosmik. Jikalau ada satu titik fokal yang hendak dikedepankan lewat pilihan tematik ini, ia adalah impermanensi. Segalanya mengalir, mulai dari energi, cahaya, ruang-waktu, hingga sejarah, kesadaran, bahkan non-aksi dalam filsafat Tao ― pendeknya, sejak dari fisika sampai dengan metafisika. Betapa gagasan-gagasan dan imajinasi kita mengenai segenap sisi kehidupan niscaya bergerak! Ad infinitum (cf. Danni Febriana). Tiada yang tetap, bahkan pandemi sekalipun.

Nothing is permanent, not even a pandemic. Keep on flowing! (Text by Kris Budiman)

Coulisse | INKZipblind & VF