presented by

SANGKRING ART SPACE: “RETHINKING” – DIASPORA KALA PATRA OF SDI

SHARE THIS
2.71K

Published by Sugar & Cream, Monday 11 July 2022

Images courtesy of Bale Banjar Sangkring

A Group Exhibition by Sanggar Dewata Indonesia Yogyakarta
Bale Banjar Sangkring: July 6th– Sept 5th, 2022

“Semuanya masuk dan tidak ada yang diam,
Anda tidak dapat melangkah dua kali ke sungai yang sama,
Bahkan materi yang paling tenang terdapat aliran serta gerakan yang tidak terlihat.”

Heraclitus (540-475 SM)

Masyarakat Bali, sebagaimana masyarakat global lainnya, selalu mengalami perubahan, transformasi, sesuai dengan perkembangan lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan pergaulan dunia. Peradaban baru ini dikenal dengan istilah global culture. Seperti yang dinyatakan oleh Lévi-Strauss, kehadiran globalisasi tidak akan selalu akan menyeret manusia ke arah negatif. Di sisi lain, kehadiran kultural global memberikan tarikan positif dalam membangkitkan pluralitas budaya lokal. Pluralisasi dunia ketika proses lokalitas melahirkan berbagai tanggapan kultural yang unik terhadap kekuatan global. Masyarakat Bali memiliki karakter budaya yang lentur, supel dan terbuka, dengan demikian mampu secara cepat mengadaptasikan budaya lama dengan budaya baru sehingga dihadirkan menjadi “budaya baru” di masyarakat. Masyarakat Bali memiliki kesadaran akan kehadiran modernitas-global dengan terbukanya arus turistik mancanegara sejak awal tahun 1990-an oleh kolonial Belanda, hingga program industri pariwisata Visit Indonesia Year 1991 oleh pemerintahan Orde Baru. Lalu bagaimana manusia Bali bereaksi terhadap perubahan pola budaya dalam kehidupan bermasyarakat dalam politik devisa- turistik ini, yakni dengan menggali kembali nilai-nilai tradisi, secara sadar melestarikan dan menjaga warisan dasar budaya Bali, kemudian mengembangkannya kepekaan komunal dalam bentuk respons adaptif kehadiran kebudayaan luar, dan mampu mengolaburasikan menjadi tradisi baru. Sikap mental yang kuat diperlukan dalam menghadapi globalisasi, sehingga mampu terjaga dengan baik sikap moral dan perilakunya sesuai landasan nilai-nilai kearifan lokalnya.

Di dalam tulisan pengantar saya pada katalogus pameran seni rupa Samasta, 2019, diuraikan bahwa seniman SDI (sebagai seniman akademis) yang merantau ke luar Bali, sejak awal telah menyadari kausalitas dari dinamika globalisasi, interaksi dalam berkesenian antar suku bangsa menjadi semakin lekat dan cair sehingga perbedaan-perbedaan kesenian semakin kabur, tergerus oleh proses adaptasi, adopsi, hingga interkultural seni budaya. Hal ini bukan berarti merupakan keterputusan atas konteks kesadaran lokal, namun justru, sebagai kesadaran sikap menjaga dan melestarikan ‘memori-ingatan’ nilai-nilai tradisi, melalui proses reinterpretasi dan rekontekstualisasi. Wacana kebudayaan juga menghadapi persoalan besar tentang batas-batas waktu, yaitu apakah kebudayaan yang dikembangkan merupakan kontinuitas dari sebuah warisan masa lalu atau terputus darinya (discontinuity). Dalam pandangan Gadamer, pengetahuan yang dimiliki individu atau komunitas tentang domain objek tertentu bukanlah produk individu atau komunitas itu sendiri, melainkan produk sejarah. Persentuhan antar budaya tidak saja melampaui batas-batas geografis, tetapi juga bersilang dalam dimensi waktu, yaitu bergerak ke masa lampau dan masa depan hingga membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan dari generasi ke generasi. Seniman SDI sadar betul bahwa filsafat lokal (local philosophy) yang melekat dalam sanubari dan logika akademiknya, menjadi modal pemikiran, konsep, cara pandang, hakekat pandangan dunia, konsep-konsep kosmologis, serta memahami implementasi kearifan-kearifan lokal yang hidup dan berkembang di dalam sebuah masyarakat tertentu, yang kemudian memberikan sumbangan terhadap pandangan hidup, adat istiadat, proses kreatif, hingga metode bertahan hidup salah satunya dalam tumbuh berkembang di medan seni rupa.

Pamurtian Ibu Pertiwi, Anak Agung Suryahadi
Cat akrilik dan tinta hitam
50 x 60cm
2021

Pertanyaan kritis pandangan awam akhir-akhir ini, ‘masihkah seniman diaspora di SDI ini nampak kebaliannya dan membicaranya ‘dunia mental’ Bali, ketika karya-karya generasi terkini mereka sangat minimalistik, visualitas sederhana (dibandingkan dengan lukisan tradisional dan modern Bali), konsepsi kontekstual, dan sensibilitas eksplorasi transmedia?” Tentang dikotomi realitas tampilan seni rupa Bali kontemporer yang kemudian mengemuka adalah tentang dialektika tradisional dan modernitas, khususnya perubahan atau pergeseran di antara keduanya, selalu diperdebatkan dengan hangat. Para ilmuwan seni-humaniora dan filsafat sangat tertarik membahas pertanyan-pertanyaan yang berhubungan dengan dikotomi ini. Di sisi lain hal itu terjadi karena adanya struktur yang kuat bertahan seperti budaya dan agen perubahan yang selalu gelisah, kritis dan dinamis yakni individu seniman tersebut. Namun dikotomi dalam seni rupa Bali kontemporer bahkan global – ini tidaklah kemudian menjadi dasar perpecahan/ketidaksetaraan yang saling meniadakan menyangkut tradisionalisme dan modernisme, melainkan dengan jalan intelektual mendekonstruksi antara legitimasi nilai-nilai tradisi kebudayaan dan proses mencari makna kontekstualitas individu/seniman. Kurasi program-program perhelatan seni dunia, seperti biennale-biennale internasional menggunakan pendekatan ini.

Melayang dan Membumi, Dewa Made Mustika 
Media campuran pada kanvas
200 x 145cm – 2 formasi
2022

Dalam konteks penulisan pengantar pameran ini, mencoba menggugah ruang reflektif seniman diaspora maupun para sahabat handai taulan penikmat seni/akademisi seni dengan pertanyaan- pertanyaan personal yang mencoba membangun pemahaman, pemikiran ulang reposisi estetika diaspora seni rupa Bali di Yogyakarta yang dibawa dan dikembangbudayakan secara kontinyu oleh seniman Sanggar Dewata Indonesia, khususnya yang menetap dan berproses di Yogyakarta. Komunitas SDI dibentuk 15 Desember 1970 di Baciro, Yogyakarta. Para pendiri SDI menyadari kontestasi geopolitik yang terjadi di era tahun 1960-an hingga 70-an, dimana elemen etnik dan identitas agama menjadi ladang panas untuk saling menyingkirkan. Maka Sanggar Dewata Indonesia didirikan atas kesadaran berkreativitas dalam kebersamaan, keberagaman, bersifat terbuka dan independen, berwawasan universal yang berazaskan Pancasila. Terbukti sejak awal didirikan hingga tahun terkini, beberapa anggota SDI ada juga dari etnis lainnya seperti Batak, Jawa, Minang, dan Sasak, dll. Posisi keanggotaan yang plural dengan normatif multikultural ini, malah makin memperkaya dialektika kesenian dan gagasan kreatif seniman diaspora Bali di SDI agar tidak menjadi primordial.

Purnacandra, Agus Putu Suyadnya
Charcoal, pastel dan cat semprot pada kanvas
200 x 200cm – 2 panel
2022
Golden Legacy #2 Made Toris Mahendra
Media campuran pada kanvas
250 x 400cm
2022

Rethinking Diaspora Kala Patra of SDI, bermakna memikirkan kembali; mempertimbangkan ulang terkaitan dengan perjalanan 51 tahun Komunitas seni Sanggar Dewata Indonesia, alur masa transmisi tradisi, batas-batas geografi, persilangan budaya, hingga reinterpretasi dan rekontekstualisasi estetika seni diaspora Bali di Yogyakarta dan pengetahuan seni yang mengikutinya. Perupa SDI, melahirnya kultur baru dalam identitas kesenian diaspora Bali sebagai akibat dialektika ‘nilai-nilai’ budaya Bali dengan atmosfer budaya setempat (medan seni rupa Yogyakarta-global) sehingga ‘seakan-akan’ menyiratkan model penyembunyian identitas kesenian dan representasi ke-Bali-annya melebur bersama identitas kultural lainnya. Benarkah demikian? Medan seni kontemporer mematik ‘memori-ingatan tradisi’ diaspora Bali ke arah dialektika ‘pos-tradisi’ Bali yang bersilang dengan dengan konsep ‘tempat dan kondisi’ dari era kontemporer yang bersangkutan. Kebudayaan hibrid hari ini bergerak ulak-alik ke masa lampau, kini, dan proyeksi masa depan, dengan penyerapan aspek-aspek ‘ideologi-identitas’ hingga membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam aspek visualitas, berproses puluhan tahun di tanah Jawa, seniman diaspora Bali di Yogyakarta memunculkan identitas kebudayaan baru, utamanya dalam lelaku berkesenian yang cenderung disederhanakan (minimalistik), berlandas konsep-konsep intelektual akademis melalui bauran hibridasi nilai-nilai budaya lokal (tradisi Bali dan lokalitas Nusantara)-global, modern, dan kontemporer.

Landscape Memory, I Kadek Suardana
Cat akrilik dan lem pada kanvas
200 x 200cm
2022

Dinamika rethinking diaspora Bali mempertimbangkan keniscayaan terjadinya medan tafsir hingga rekontekstualisasi ‘the past & today’ tanpa merusak-leburkan atau terlepas seutuhnya benang merah konsepsi filsafat lokal Bali, namun mentransformasikannya ke dalam berbagai kemungkinan artistika. Kalaupun terjadi beda tanggapan atas tafsir “merusak/mengganggu’ kemapanan citra visual tradisional seni rupa Bali, itu adalah persoalan cara pandang, respons keluas-sempitan cakrawala pemikiran. Seleksi budaya yang terjadi pada praksis berkesenian dan representasi visual karya seniman SDI bisa menjadi faktor utama yang menjelaskan sifat-sifat serta karakteristik artistik yang berkembang dan menunjukkan bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan dan situasi yang sangat berbeda dengan rumah mereka -Bali-. Menurut pandangan ini, budaya berevolusi secara komulatif, menciptakan struktur baru dalam masyarakat sebagai akibat dari modifikasi dan pengayaan (inovasi) yang terus-menerus. Pada titik ini, daya lentur adaptasi dan jiwa survival orang Bali sebagai diaspora/perantauan, jika kita telisik ternyata disebabkan adanya konsep batin kosmologis, ada ikatan yang sangat erat antara interaksi orang Bali dengan kebudayaan Bali, terutama pada interaksi dengan alam (lingkungan) semesta. Dalam konsep kosmologis masyarakat Bali, dikenal dua pembagian alam lingkungan yakni alam sekala (nyata) maupun alam niskala (tidak nyata). Ruang lingkup sekala meliputi kehidupan sosial kemasyarakatan serta dunia fisik (alam sekitarnya). Diaspora Kala Patra SDI tidak sekedar entitas personal yang berkumpul-berserikat, berproses seni dan bergaul di seberang tanah Bali, tapi mereka meracik formula baru dengan bahan suci spirit warisan leluhur Bali, memperkaya benteng filosofis kultural Bali dengan ragam estetika cipta, rasa, karya sesuai dengan falsafah Desa Kala Patra.

Future Goals, Dyah Ayu Santika Dewi 
Cat akrilik pada kanvas
120 x 150cm – 2 panel
2022

Dalam rentang perjalanan waktu berkeseniannya, SDI tidaklah bebas lenggang kangkung dari gesekan-gesekan pemikiran, kontradiksi dan ujaran keresahan di pihak lain atas eksistensi yang nampak ‘mapan’ sebagai jejaring komunal seni, seniman Bali di Yogyakarta. Dalam dinamika mempresentasikan hasil proses kreatifnya dalam bentuk karya seni dalam perhelatan seni (ruang kolektif, seminar seni, pameran, festival, dll) SDI, secara simultan menyatakan opini dan konsep berkeseniannya pada publik seni dan akademisi, dampaknya justru membuka kembali serangkaian ‘berpikir proses’ strategi perbedaan-perbedaan dan kesamaan eksistensi, baik di dalam wilayah intelektual, relasi sosial, maupun dalam kesadaran kolektif.

Bersama Tidak Harus Sama, Anggara Tua Sitompul
Cat akrilik pada kanvas
135 x 135cm & 175 x 135cm
2022

Dalam perkembangannya estetika maupun laju jejaring relasi ekonomi yangmengikutinya, ada masa diskursus hegemoni menganggap ‘superior’ SDI, sebagai wakil wajah representasi seniman Bali di medan seni rupa Indonesia. Situasi ini tentunya menimbulkan ‘tegangan’ dan ‘serangan’, baik dari sisi pilihan ‘identitas estetik’, konsep penciptaan, hingga pola relasi jejaring kolektifnya. Mari kita melaju sejenak pada peristiwa demontrasi protes mahasiswa seni di Bali awal tahun 2000, dicatat dan dianalisa oleh I Ngurah Suryawan dalam artikelnya “Mendobrak Hegemoni dan Kuasa Seni Bali”1, dalam agenda “Mendobrak Hegemoni’ oleh Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI/ISI Denpasar (Februari 2001), memaparkan bahwa “hampir sebagaian besar karya mahasiswa Kamasra bertema “menghujat” dan “menyerang” kelompok-kelompok yang dianggap hegemonik, yang tidak lain adalah sebagian besar seniman SDI, para pemilik museum dan galeri yang menjadi institusi yang berkuasa untuk menentukan dan menciptakan wacana, didukung oleh para kurator dan penulis seni yang bisa dibeli untuk terus mengokohkan kekuasaan kelompok hegemonic SDI dan relasi-relasinya.

Blood, I Gusti Ketut Alit Arya Putra
Media campuran pada kanvas
200 x 140cm
2022
Eternal, I Kadek Didin Junaedi
Cat otomotif pada besi stainless
185 x 100 x 90 cm
2022
Konstruksi Kesadaran, I Gusti Ngurah Udiantara
Cat akrilik pada kanvas
260 x 300cm
2022

Mereka didukung oleh modal yang kuat dan bisa membeli media massa sebagai sarana promosi mereka. Mendobrak Hegemoni menyerang Nyoman Erawan, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Putu Wirata Dwikora sebagai penulis seni rupa, Bali Post sebagai media yang menjadi corong SDI dan lingkaran museum, galeri, penghargaan, kolektor (kolekdol) yang menciptakan relasi yang hegemonik. Lebih lanjut Suryawan mengatakan “Seniman-seniman yang tergabung dalam SDI menguasai dua poros Yogyakarta-Bali. Disadari atau tidak, SDI telah membentuk gurita kekuasaan yang menyebar dalam relasinya dengan wacana, lingkaran dan bangunan infrastruktur seni visual, dan nilai yang ditawarkannnya. Jaring-jaring kuasa yang beroperasi inilah yang menjadi dasar bangunan SDI sebagai lembaga maupun anggotanya sebagai individu, berkembang kuat menjadi kelompok seniman yang mewarnai perkembangan seni visual di Bali.” Suryawan memandang bahwa “operasi kekuasaan rezim Orde Baru tanpa sadar mengonstruksi SDI menjadi produk zaman yang kental dengan sikap apolitis, dan dalam konteks Bali harus “berbudaya” dan “berspirit pentradisian Bali”. Ini sangat cocok dengan spirit SDI ketika lahir dari kerinduan anak muda Bali yang tinggal di Yogyakarta untuk menunjukkan identitas ke-Bali-annya”, pungkasnya.

Menjaring Langit, Putu Adi Gunawan
Cat pada fiberglass
135 x 47 x 50cm
2022
Tabuh Rah, I Wayan Agus Novianto
Kulit kerbau
170 x 190cm – 2 panel
2022
Barong Miki, I Nyoman Darya 

Alumunium, Kuningan platina, Perunggu
60 x 70 x 32cm
2022
Nyanyian Jalanan, I Nyoman Agus Wijaya 
Plat besi galvanis
125 x 40x 150cm – dicetak 1/5
2022

1 Bacaan lebih lanjut dapat diakses pada http://memecahsenyap.blogspot.com/2008/04/mendobrak-hegemoni-dan-kuasa-seni-bali.html


Presented by Zipblind

Benarkah kolektivitas seni SDI sehegemonik tersebut dalam relasi jejaring kuasa artistik dan modal ekonominya? Sejauh pengamatan dan pengalaman internal saya menjadi anggota aktif selama 23 tahun dan pernah terlibat mengelola manajemen SDI, bahwa tidak adanya suatu ‘entitas kekuasaan internal absolut’ SDI dalam proses kreasi “mengatur suatu bentuk capaian kreatif tertentu” dalam komunitas SDI, atau sosok relasi patron kapitalistik yang berkepentingan menentukan ‘mode of production’, atau pun jembatan ‘modal kapital luar yang solid dan terencana’ untuk menguatkan hegemoni status qua di dalam medan seni rupa sebagai basis dasar ideologis berkelompok SDI. Sangat jauh berseberangan dengan delik argumentasi yang dilancarkan Suryawan dan kawan-kawan Kamasra. “Tetapi tidak apa-apa, sesungguhnya, semua berjalan dengan ritme alami kosmologi kreasi zamannya”. Dan persoalan impect sosial-ekonomi dalam masa ketrengginasan SDI, bagaimana pasar menyerap dan menjadikannya ‘komoditas kapitalistik’, itu adalah selera ‘arus pasar’ yang personal, baik dari lembaga seni, galeri, kolektor, kolekdol hingga pemikir seni. Catatan, tidak semua anggota SDI masuk dan terserap dalam ‘arus pasarekonomi’ dan menikmati buih-buih manis madu kapital. Senyatanya, didalam ‘perjuangan proses kreatif’ ruang-ruang kreasi personalnya, setiap saat seniman SDI berhak dan berpeluang berpindah haluan mode kreasi sesuai kebutuhan idealitas konsepsinya. Ini persoalan paradigmatik yang setara dan bebas pilih, hingga kini pun tetap berjalan seperti itu.

Barong Emas, I Nyoman Darya 
Cat akrilik pada kanvas
200 x 400cm
2022
Welcome Home, I Made Dabi Arnasa
Cat akrilik pada kanvas
200 x 140cm – 2 panel
2022
The Power Universe, I Made Surya Subratha

Cat akrilik, cat semprot pastel pada kanvas
124 x 140cm
2022
A Thousand Star Series – Face#2, I Putu Adi Suanjaya
Cat akrilik dan cat semprot pada kanvas
Diameter 150cm
2022
Condescendent, I Wayan Bayu Mandira
Cat akrilik pada kanvas
80 x 100cm
2022

Masih segar teringat dokrin senior-senior kami di SDI “lawanmu (dalam sudut capaian artistik) bukanlah orang luar –nonBali—tapi diri kita (sesama perupa Bali) yang ada didalam SDI, kalian harus mampu menghasilkan karya yang unik, khas dan berbeda-beda rupa sesuai dengan pemahaman konsep seni masing-masing.” Saling menginspirasi dan sesekali mencomot pola/style tertentu dari seniman SDI yang telah mapan, hal yang wajar, akibat dari interaksi yang intim, intens dalam ruang pergaulan budaya. Kesenian itu sendiri, apapun kenyataannya, merupakan konsep yang bersejarah. Inilah yang disebut dengan dinamika kreatif yang bertumbuh. Tidak ada ‘hegemonic style’ yang dilanggengkan yang secara “hiperbolis” bersikeras dipertahankan secara kolektif, dengan merangkul kesamaan visi rupa ataupun membuang/menyingkirkan yang beda antar anggota/seniman SDI. Oleh karenanya, diskursus seni dan luarannya, merupakan bagian dari tradisi ‘berpikir’ karena bergantung pada asumsi tradisi yang memengaruhinya. Prasangka atas realitas dengan demikian mengondisikan pemahaman kita baik dalam apa yang diterima karena keakraban dan dalam apa yang mengganggu karena dianggap berjarak yakni ‘liyan-baru’. Dalam kasus tersebut, apa yang diyakini dan diasumsikan oleh satu generasi didasarkan pada – sebagai kelanjutan dari atau reaksi terhadap – apa yang telah dirumuskan dan dicurigai oleh generasi sebelumnya.

Sunday Morning, I Putu Rivaldo Pramana Putra 
Cat akrilik pada kanvas
180 x 240cm
2022
Cherry Daydream, Luh Pande Sandat Wangi
Cat akrilik pada kanvas
80 x 120cm
2021
Blue Butterfly Pea, Luh Pande Sandat Wangi
Cat akrilik pada kanvas
80 x 120cm
2021

Realitas dinamika saling respons dan mengkritisi sesuatu hal hingga membangun wacana ‘tandingan’, pada hakekatnya rekonstruksi pengayaan pengetahuan, dan itu menyenangkan/berharga untuk disimak/dikaji, terlebih momentum tersebut menjadikan peristiwa tersebut ‘hidup’ dan terus mengembangkan proses mentalnya. Pertanyaannya kini, apakah gebrakan ‘mendobrak hegemoni’ tersebut berpengaruh pada proses kreatif dan berpikir proses seniman SDI? Saya rasa tidak, “itu hanya kegemparan sementara”. Namun peristiwa tersebut patut dicermati dalam pengayaan pandangan kritis wacana hegemoni dalam kebudayaan Bali. Dalam kosmologi ruang seni, ada dimensi kebebasan untuk menempatkan dirinya berjarak dan lekat dengan refleksi apapun, baik terhadap representasi objek/material tertentu, orang-orang, dan peristiwanya. Momentum estetika keberagaman visual seniman diaspora SDI bisa dilacak dalam ruang pameran dan sejumlah katalogus SDI seperti 32 Tahun Sanggar Dewata Indonesia (2003), Termogram: Mengukur Suhu Kreatif SDI (2004), Reinventing Bali (2008), SDI Now (2008), Vibrant Vision of Lempad (2012), Tribute to The Maestro I Nyoman Gunarsa (2017), Partitur (2017), Proud to be an Artist (2018), Samasta (2019), dan yang terkini Rethingking Diaspora Kala Patra (2022) yang melibatkan 31 seniman SDI di Sangkring Art Space– Yogyakarta. Performa lanskap kreativitas seni seniman SDI yang lebih spesifik tercatat dalam pameran-pameran seni rupa yang diadakan oleh ranting-ranting kolektif SDI dari kelompok- kelompok angkatan mahasiswa seni rupa dan media rekam ISI Yogyakarta, yang jumlahnya cukup banyak. Sepertinya halnya sebuah jargon pandangan filsafat, bahwa tidak ada pemikiran/pandangan tertentu yang bersifat mutlak dan absolut, perbedaan itu adalah keniscayaan, demikian pula tarikan-tegangan respons sosialnya, ada pengetahuan didalamnya. Bukankah perbedaan dan kesamaan tersebut dualitas yang bernilai sama dan seimbang dalam kosmologi Rwa Bhineda Bali?

Gerha, I Wayan Bayu Mandira 
Cat akrilik pada kanvas
120 x 120cm
2022
Hibrid Ruang Personal, Energi Alam, I Wayan Sudarsana 
Cat akrilik pada kanvas
200 x 180cm
2022

Saya percaya, dengan rentang dimensi waktu 51 tahun dan dinamika kreatif local genius seniman diaspora Bali di SDI, akan menunjukkan klasifikasi dan bentang estetiknya yang khas namun universal bahwa bagaimana transformasi praktek kesenian yang beradaptasi pada struktur- arena konsep trikona Bali yakni desa, kala, patra; melibatkan dialektika berbagai pengetahuan, pembacaan kritis, penilaian, ketajaman serta kesetiaan pada sebuah disiplin intelektual maupun praktik kesenian sehari-hari yang ketat. Dengan beragam performa kesenian, konseptual dan wacana yang ditawarkan dan dihadirkan seniman SDI, dengan puluhan event seni nasional dan internasional yang dilaksanakan dalam bentang setengah abad SDI, berpeluang membuka ruang pembacaan ‘rethinking, reinterpretasi, dan rekontektualisasi’ secara objektif baik dari dimensi metafisika, epistemologi, dan aksiologi melalui sudut pandang para pemikir seni, antropologi, sosiologi, manajemen, tata kelola seni, filsafat dan multidisiplin akademis lainnya.

This Place Belong to Me, Pande Ketut Taman 
Cat akrilik pada kanvas
200 x 189cm
2022
Untitled 3, Putu Sastra Wibawa 
Cat akrilik pada kanvas
200 x 200cm
2022

Eksponen seniman diaspora Bali, ijinkan saya menyebutkan beberapa darinya: I Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, A. Agung Suryahadi, I Gusti Ngurah Nurata, Nyoman Erawan, Made Budiana, I Nyoman Sukari, I Made Arya Dwita ‘Dedok’, Putu Sutawijaya, Pande Ketut Taman, Dewa Made Mustika, Nyoman Masriadi, Putu AdiGunawan, I Made WidyaDiputra, MadeValasara, Wayan Upadana, Agus Putu Suyadnya, Putu Sastra Wibawa, I Kadek Didin Junaedi, I Wayan Piki Suyersa, Oka Randy Mahendra ‘Setsu’, dan masih banyak lagi eksponen SDI hingga angkatan terkini 2020-an, berpikiran progresif dan modernis, melakukan berbagai aksi transformatif, dalam hal ini memroduksi pemikiran dan praksis baru berkesenian.

Seleh (Keikhlasan), Setsu 
Cat semprot dan cat akrilik pada kanvas
30 x 30cm – 3 panel
2022
Journey, Wayan Sarcitayasa
Cat akrilik pada kanvas
65 x 65cm – 9 panel
2022

Hal ini menegaskan bahwa visualitas seni rupa Bali ditangan seniman diaspora Bali di SDI akan terus bertumbuh dan berkembang dinamis, mengubah dan beradaptasi atas konstelasi ruang, waktu, dan situasi tanpa kehilangan makna nilai-nilainya yang hakiki. Tentu tumbuhnya kesenian Bali dilandasi oleh kedalaman pemahaman dan praksis sehari-hari berdasar atas filosofis nilai-nilai agama Hindu- Bali. Nilai-nilai praktis dan normatif kesenian tersebut tentu sudah lama ada dan mengendap dalam kedirian falsafah lokalitas seniman Bali.

The Rhythm of Flow, Wayan Yusa Dirgantara
Media campuran pada kanvas
200 x 280cm
2022
Conscience, Tjokorda Bagus Wiratmaja
Cat akrilik pada kanvas
200 x 200cm
2022
Contrary, I Wayan Piki Suyersa
Fiberglass, resin, bulu sintetis
200 x 250cm
2022

Sikap kritis memaknai ‘re-thinking’ menjadi tindakan reflektif yang harus terus menerus dilakukan oleh seniman diaspora Bali. Memikirkan ulang, dan menandai pengetahuan atas pengalaman diri/kolektif sosial terhadap respons zaman adalah cara bertahan hidup/survival dan membangun eksistensi berkesenian. Pergerakan seni seniman diaspora SDI yang konsisten dalam ruang dan waktu yang cukup lama, akhirnya menemukan struktur baru kesenian, yang tercatat dengan sebutan seni rupa kontemporer (Bali). Alhasil, struktur bangunan seni tersebut sudah menjadi ‘newly-established art practice’, menyublim sesuai dengan idiom dan paradigma ideologis zaman terkini. Terlepas dari sebutan yang sangat etnisitas tersebut, kontribusi utama dari visi pergerakan seni komunitas seni rupa SDI adalah membangun identitas multikultural seni yang berpijak pada kedalaman nilai-nilai lokalitas dalam relasi keberagaman estetika seni rupa kontemporer Indonesia.

Oleh karena itu, pikiran saya adalah sekiranya menantang untuk membayangkan bagaimana seniman Diaspora Bali (di wilayah manapun dia berada) yang terikat atas “identitas ideologi Bali” aktif ‘memberontak-melompat’ sebagai ruang introspektif geopolitik-ajeg (tradisional) Bali; berbekal memori-ingatan tradisi, bersenggama dengan realitas produk budaya luar Bali, melahirkan hasrat otensitas seni baru yang diciptakan dengan mendefinisikan ulang inti sari formula filosofis Bali; berpikiran terbuka dan kritis, percaya diri, adaptif, teratur, dan berwawasan keluar; mengembangkan suatu gagasan yang lebih dinamis tentang kesenian mereka hari ini yang menawarkan peluang bagi hibriditas dan dimensi-dimensi transnasional-global sebagai representasi estetika kontemporer seniman diaspora/perantauan Bali. (Penulis : I Gede Arya Sucitra)

Selamat menikmati lanskap Rethinking Diaspora Kala Patra of SDI.

Coulisse | INKZipblind & VF