presented by

PRO TALK SERIES #01: PARADIGMA KOTA & ARSITEKTUR DI MASA DEPAN BERSAMA IAI & 5 ASOSIASI PROFESI

SHARE THIS
2.84K

Published by Sugar & Cream, Monday 21 February 2022

Image courtesy of IAI and S&C

Bagaimana Posisi Indonesia? Bagaimana Posisi IKN?

What comes to your mind about a smart city or a sustainable city? How to make it happen? And what must be done to make this city built? Perencanaan sebuah kota dan khususnya ibukota negara, merupakan momen penting yang bersejarah melalui sebuah proses terpadu.  Proses perancangan kota harus berkolaborasi oleh seluruh pihak yang berkompeten dan terakreditasi sesuai bidang-bidang yang terkait. Sebuah kota tidak bisa dianggap sebagai sebuah produk.

Melalui Pro Talks Series #01: “PARADIGMA KOTA & ARSITEKTUR DI MASA DEPAN” bersama Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Perencanaan – Indonesia (IAP), Ikatan Ahli Rancangan Kota Indonesia (IARKI), Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI), dan Green Building Council Indonesia (GBCI) ingin mengajak kita semua untuk aware akan permasalahan atau langkah apa saja demi gerakan bersama untuk memformulasikan kota dan arsitektur di masa depan yang berkelanjutan (sustainable), melalui perspektif berbagai disiplin ilmu yang terkait perencanaan dan perancangan lingkungan binaan. Dan, diharapkan melalui Pro Talk Series ini bisa menjadi platform untuk gerakan tersebut dan akan dilakukan secara kontinuitas setiap tahun, tujuannya adalah agar kelima asosiasi tersebut dan mungkin akan bergabung asosiasi lainnya untuk melaksanakan tugas serta memberi solusi dan masukan demi pembangunan Indonesia.

Penyelenggaraan perdana Pro Talks Series dengan tajuk Pro Talks Series #01: “PARADIGMA KOTA & ARSITEKTUR DI MASA DEPAN – Bagaimana Posisi Indonesia? Bagaimana Posisi IKN? telah dilaksanakan pada Rabu 26 Januari 2022 secara offline maupun virtual, di Le Meridien Hotel, Jakarta. Hadir sebagai pembicara kelima ketua umum dari masing-masing asosiasi tersebut yaitu Ar. Georgius Budi Yulianto, IAI AA (IAI), Dr. Phil. Hendricus Andy Simarmata, ST, MSi (IAP), Sibarani Sofian MUDD, B. Arch LEED AP (IARKI), Dian Heri Sofian ST, MT, IALI (IALI), dan Ir. Iwan Prijanto MM GP (GBCI) serta Andini W. Effendi bertindak sebagai moderator.

Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Ar Georgius Budi Yulianto IAI, AA menilai kota yang ideal perlu dimulai dengan desain melalui taat azaz. Kehandalan bangunan, aman, nyaman, yang menyangkut keselamatan masyarakat, harus patuh pada parameter desain, regulasi dan kearifan lokal daerah setempat. Tren pembangunan dunia saat ini menuju tren Net Zero emisi karbon. Dimana setiap bangunan sebaiknya memiliki nilai yang signifikan untuk memperoleh hal tersebut, karena bukan saatnya lagi kita memamerkan bangunan atau gedung oversize yang pastinya boros akan sumber daya. Dari asosiasi ingin membangun “National Building” yang taat azas, dengan proses yang benar. Semua proses itu diharapkan hasilnya bisa menjadi role model untuk kota – kota di Indonesia ke depannya.


Presented by Interni Cipta Selaras

“Banyak orang bisa mendesain tetapi untuk yang bisa mempertanggung jawabkan karya arsitektur secara hukum adalah profesional yang berlisensi dan teregistrasi.” 

Ar Georgius Budi Yulianto IAI, AA, Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia  –

Sementara Ketua Umum IARKI, Sibarani Sofian MUDD, B. Arch LEED AP, mengatakan pembangunan kota tidak sekadar membangun elemen-elemen fisik semata, seperti gedung, jalan, infrastruktur, taman, dan lainnya, namun juga membangun sebuah peradaban yang terbentuk dari ruang binaan. Perumusan kota seharusnya  dilakukan secara transparan dan inklusif dalam semangat kebersamaan dan kepedulian, semua ini yang terpenting adalah manusia yang akan menghuninya. Seni dan teknik membentuk ruang binaan adalah peran dari berbagai disiplin ilmu ruang binaan yang harus dilakukan oleh profesional terkait secara terintegrasi dan prosedural. Perkotaan adalah ilmu terapan yang kompleks dan non-linear, diperlukan kepakaran, rekam jejak, dan jam terbang tinggi untuk bisa memberikan advis terbaik. Jangan hanya bertumpu pada masukan politis dan/atau estetis satu orang/pihak yang mungkin tidak paham ilmu perkotaan.  Oleh karena itu, the future cities perlu dibangun selaras dengan alam dan manusia sebagai fokus utamanya, bukan bangunan, struktur, ataupun kendaraan.

“Sudah saatnya kita mentransformasi peradaban Indonesia menuju pembangunan yang hemat energi, berdampak rendah, berkinerja tinggi. Berbasis transportasi publik, pejalan kaki maupun pesepeda. Memiliki ruang terbuka hijau yang luas, terventilasi, demi kesehatan. Dan yang terakhir, kota menjadi ruang kerja yang kompak dan kolaboratif.”

Sibarani Sofian MUDD, B. Arch LEED AP, Ketua Umum IARKI  –

Seiring dengan tren global tentang upaya build more with less, maka perencanaan kota di masa depan dituntut untuk lebih memperhatikan aspek-aspek keselarasan antara manusia dengan lingkungannya dan mengarah kepada compact city yang mengutamakan pembangunan kota secukupnya hingga seminimal mungkin berdampak pada lingkungan.

Seperti yang diungkapkan Ketua Umum GBCI, Ir. Iwan Prijanto MM GP,  setelah masa kemerdekaan hingga Orde Lama terdapat aspirasi besar untuk membenahi dan membangun wajah koridor utama Ibu kota Jakarta seperti gedung MPR/DPR, Monas, GBK, dan sebagainya semegah mungkin dengan pendekatan arsitektur modern, untuk membuktikan bahwa kita bisa setara dengan bangsa-bangsa lain. Perencanaan dan perancangannya dilakukan oleh arsitek-arsitek profesional pada era tersebut. Namun di masa sekarang dan kedepan, kota-kota dunia tidak  lagi berlomba untuk menunjukkan kemegahan, melainkan menunjukkan kecerdasan khususnya dalam menggunakan dan mengelola sumber daya. Sustainability dan penurunan emisi serendah menjadi kunci utama. ‘Build more with less’ menjadi mantra dan kecanggihan baru dalam mencapai keagungan. Keberlanjutan kehidupan dan peradaban membutuhkan sumber daya. Sumber daya perlu dikelola dengan cara yang bertanggung jawab agar kehidupan dan peradaban dapat terus berlanjut.

“Kata sustainable mudah diucapkan namun hal ini merupakan upaya sistemik dan komprehensif multidisiplin yang harus dilakukan sejak penentuan dan perancangan tapak, pemilihan material bangunan, hingga merancang massa bangunannya agar menghasilkan nilai tambah dan estetika tinggi namun dengan sumber daya konstruksi dan operasi serendah mungkin. Langkah sistemik awal dimulai dari pengendalian diri (konsumsi utamanya energi) setelah itu baru dilanjutkan dengan pemanfaatan metode dan teknologi efisensi energi dan memaksimalkan penggunaan renewable energy. Upaya total NetZero tidak akan tercapai bila perilaku dan desain bangunan kita masih boros sumberdaya.”

–  Ir. Iwan Prijanto MM GP,  Ketua Umum GBCI –

Ketua Umum IAP, Dr. Phil. Hendricus Andy Simarmata, ST, MSi menambahkan, kota yang baik adalah kota yang dibangun secara terencana agar berkelanjutan bagi generasi selanjutnya dan bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk lansia dan difabel. Bukan yang isinya hanya kumpulan bangunan megah seperti jaman Mesir Kuno. Kota harus vibrant dan membawa ciri khas urbanisme nusantara sebagai jiwa kota tersebut. Dalam perancangan kota, harus mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Terdapat sustainability index – nya. Pertama dan utama yang harus diperhatikan adalah lingkungan (alam), dimana harus sesuai dengan daya dukung, daya tampung lingkungan serta resiliensi tempat yang bersangkutan dan juga ada instrumen penilaiannya. Kedua adalah sosial budaya, memastikan pemerataan dengan beberapa indikator pembangunan sosial. Ketiga adalah ekonomi, memastikan lapangan kerja dan usaha berkelanjutan dan rendah emisi.

“Jika harus menempati kawasan hutan, sebuah kota harus dimulai dengan membuat standar dan panduan pembangunan yang cermat dengan melibatkan profesional-profesional lintas-disiplin dalam hal menentukan parameter luasan, ketinggian, social and environmental safeguard, zoning regulation, building code, dan sebagainya. Kita berharap prosedur ini dicantumkan dalam UU agar kota tidak hanya sekedar produk tapi merupakan sebuah proses kolektivitas. Tidak hanya oleh pemerintah dan dunia usaha, tetapi juga para profesional dan masyarakat adat atau desa di lokasi tersebut sebagai partisipan aktif dalam pembangunan. Pemahaman terhadap standar dan panduan tersebut juga perlu didorong sebagai salah satu syarat kompetensi menjadi aparatur negara di kota baru, bukan hanya sekedar administrasi birokratif.”

–  Dr. Phil. Hendricus Andy Simarmata, ST, Msi, Ketua Umum IAP –

Sedangkan Ketua Umum IALI, Dian Heri Sofian ST, MT,  berpendapat, ‘Where not to build’ adalah kaidah utama perencanaan, sehingga manusia dan struktur yang dibuatnya berada dalam harmoni dengan alam. Penataan ruang-ruang luar menjadi bagian penting dalam rangka menghadirkan environment tempat warga hidup dan beraktivitas. Memulai pembangunan dalam skala sebesar IKN perlu dimulai dengan penataan lingkungan, terutama tata hijau dan birunya. Memulai pembangunan dalam skala sebesar IKN perlu dimulai dengan rancangan tata hijau dan birunya. Membangun IKN menjadi bagian dari tonggak sejarah NKRI, yang harus ditulis dengan tinta emas. Proses maupun produknya keduanya kelak dapat sebagai referensi terbaik untuk berbagai skala perancangan di Indonesia.

“Peran Arsitek Lanskap adalah merancang harmonisasi berbagai komponen fisik kota, budaya, dan manusianya yang diterjemahkan dalam desain ruang -ruang luar. Ruang -ruang yang baik, utamanya perlu mempertimbangkan vegetasi dan existing ecosystem serta keanekaragaman hayati secara seksama. Agar tidak ada perusakan dan kepunahan yang dapat mengganggu keseimbangan dan keberlanjutan alam”

Dian Heri Sofian ST, MT, Ketua Umum IALI –

Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia yang direncanakan dari nol, tentunya merupakan momentum sejarah untuk menghasilkan sebuah wajah kota Indonesia di masa depan, tak hanya memenuhi fungsi-fungsi simbol negara namun memenuhi tuntutan tren global perkotaan masa depan, yaitu cerdas, berkelanjutan, dan berketahanan. Rancangan arsitektur dan kota yang baik harus terkoordinasi, taat azas dan melalui proses uji publik. Seluruh proses perencanaan ini hendaknya tidak dilakukan secara tergesa-gesa dan terbuka satu sama lain antar pihak-pihak yang terkait. Sehingga akan didapat sebuah hasil rancangan ibu kota negara yang terbaik dan sesuai dari segi kualitas, waktu, dan biaya.

Coulisse | INKZipblind & VF