presented by

NEO GALLERY MEMPERSEMBAHKAN PAMERAN “SPEAKING THE UNSPEAKABLE”

SHARE THIS
2.61K

Published by Sugar & Cream, Tuesday 06 August 2024

Images courtesy of NEO Gallery

Ziarah Ambang Bawah Sadar Dan Tuturan Tak Terkatakan

“Saya selalu menyampaikan yang sesungguhnya. Meski tak semuanya benar, sebab tak mungkin membincangkan keseluruhan itu. Mengatakan sejujurnya mustahil, sebab kata-kata pasti gagal! Namun, melalui ketidakmungkinan kebenaran Subyektif bisa bertahan.”Jacques Lacan

Sebuah perhelatan seni selalu membuka kemungkinan atas beragamnya aspek-aspek ambang bawah sadar sang produsen dalam praktik artistiknya, yakni Sang Perupa. Hajatan seni juga menguak bagaimana sebagai seorang subyek, perupa memanggungkan proses mengarungi pengembaraan terjauh imajinasinya lewat ambang bawah sadar yang sangat privat.

Itu semua terjadi melalui momen-momen terpenting dalam sejarah hidupnya yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk obyek-obyek seni di pameran.

Lacan, salah seorang bapak psikoanalisa modern yang terpikat pada kritik sastra menandai bahasa adalah salah satu instrumen untuk menganalisa, yakni berupa pendedahan relasi simbol-simbol dan teks yang jika konteksnya seni kontemporer, tentu terkait dengan bahasa visual dengan hukum-hukum estetika terkiwari.

Yang celakanya, secara visual, pengalaman penelitian-penelitian kajian psikoanalisa menunjukkan juga tak mampu sepenuhnya memahami apa saja yang tak mungkin atau mustahil dibincangkan.

Lacan pada intinya membagi pengembaraan tak lelah seumur hidup manusia dan tentunya, relasi dalam pameran ini adalah jelajah 22 perupa; yang sejatinya mengarungi masing-masing pencarian Subyek Idealnya sebagai seniman. Dalam tiga etape kehidupan yang sesuai Lacan, disebut Yang Imajiner, seterusnya Yang Simbolik, dan terakhir Yang Nyata.

Perupa makhluk yang ringkih, sama dengan manusia lainnya. Sepanjang hayat tak henti menjalani kelana batin dalam luka, stigma dan buruk-sangka, keriuhan euphoria kegembiraan semu, berpura-pura tabah, sampai tersayat kesunyian.

Semua berhulu pada fase Cermin dari yang disebut Yang Imajiner, yakni hadirnya hasrat menginginkan menjadi Subyek yang ideal, dengan mengidentifikasi dirinya dengan sang Liyan, seperti sebuah Cermin di masa masih muda atau awal pembentukan identitas diri.

Cermin ini memberi makna yang rumit lagi kompleks tentang dirinya dalam hidup, yang kelak ingin direngkuh, dibayangkan sebagai sesuatu yang permanen dan elok diluar sana sebagai dirinya yang anyar.

Dengan persona uniknya, seniman berupaya menyuruk lebih jauh dan mendalam mendedah ekspresi-ekspresi ambang bawah sadar individual. Sebagai amunisi estetik mencipta karya berhulu pada keniscayaan hasrat untuk tetap eksis dengan proses sublimasi. Kajian psikoanalisa memberi gambaran, bahwa proses sublimasi tercipta tatkala di etape Yang Simbolik.

Presented by Coulisse | INK

Etape yang memiliki peran krusial menjadi medan dialog simbol-simbol dan antar teks milik si seniman, keinginan-berupa hasrat menjadi “Aku” bereksistensi, menghentak dengan sangat secara sangat privat mengemuka. Pengembaraan batin, dalam bentuknya di fase penjelajahan yang dijuluki Yang Simbolik tadi, terutama hadir dalam proses penciptaan karya sebagai sejenis katarsis untuk menjadi Subyek Ideal.

Fase terakhir, yakni etape Yang Nyata adalah konsekuensi ketidak-mampuan perupa mengonstuksi simbol-simbol berupa bentuk imajinasi-fantasi menjadi Subyek Ideal-nya yang permanen. Ia mengalami krisis dalam pengalaman hidupnya, yang justru bagi para perupa dengan didorong hasratnya makin meluap daya artistiknya.

Trauma hebat di entitas privat—keluarga dekat, kemudian kekangan dan represi dari luar dirinya layaknya norma-norma sosial, ajaran-ajaran religi bahkan kekerasan sistemik-simbolik dari negara –sebagai sang Liyan untuk dilawan—menghantar kekuatan hasrat seniman untuk tetap bertahan.

Hidup yang ideal, dalam identifikasi diri para seniman, yakni kembali pada tahap Yang Imajiner pada saat masih muda— yang nyaman dan semua terkedali, sesungguhnya mustahil dipeluk. Simbol-simbol dari konstruksi penanda atas tanda yang berlapis pun penggunaan bahasa apalagi nilai-nilai sebagai diandaikan struktur dakam bahasa yang apapun diluar diri, telah ditentang, semuanya lunglai dan menjelang usai.

Sebab tak seluruhnya benar dan tak mungkin membincangkan sejujur-jujurnya idealisasi kebenaran ideal sesuai hasrat. Manusia-manusia dan seniman, dikutuk menjadi persona makhluk yang Subyektif, terpisah dan terbuang dalam sia-sia? Pada etape ini, adalah pilihan untuk bersuka-rela, berkesadaran utuh memeluk apa saja yang cacat, berkekurangan dan rongga kegagalan dalam dada pada pengalaman-pengalaman batin sebagai keniscayaan hidup.

Pameran bersama bertopik “Speaking The Unspeakable” yang tak membatasi karya-karya anyar maupun lawas, adalah ujaran-ujaran intim seniman bertahan dengan seluruh strategi visual yang dimiliki.

Seniman-seniman –yang bekerja secara kolaboratif pun yang individual–, yang sudah senior, madya serta yang masih meniti karir awal, dengan pilihan menggunakan visualisasi secara puitik, mewakilkan sosok-sosok figuratif, narasi penjelajahan kekacauan visual, yang memancarkan euphoria-kegembiraan bahkan sampai yang tak terindera dengan corak abstraktif.

Seperti kata penyair Chairil Anwar di tahun 1946, sejatinya nasib adalah kesunyian masingmasing, dalam puisi “Pemberian Tahu” di bawah ini, yang tak harus ditafsirkan sebagai hubungan asmara semata antara lelaki dan perempuan.

Namun perspektif lebih luas tentang hakikat keterpisahan manusia dengan manusia lainnya, sebagai Sang Liyan versus Subyek Ideal, dengan nilai-nilai di luar diri Sang Seniman, dan mencoba berdamai atasnya!

Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak,
tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,

Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan,
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama Ini juga kutulis di kapal,
di laut tidak bernama!

Bambang Asrini Widjanarko, Kurator

Coulisse | INKZipblind & VF