presented by

MENJAHIT MASA DEPAN: PINTU INCUBATOR & ÉCOLE DUPERRÉ DALAM SATU PANGGUNG

SHARE THIS
80

Published by Sugar & Cream, Wednesday 27 August 2025

Images courtesy of JF3

Mode Tanpa Batas

Peragaan busana “Echoes of the Future” jadi salah satu momen paling hangat dan berkesan di JF3 Fashion Festival 2025. Digelar pada 27 Juli di Fashion Tent Gafoy, Summarecon Mall Kelapa Gading, pagelaran ini mempertemukan enam label lokal dari PINTU IncubatorNona Rona, CLV, Denimitup, Dya Sejiwa, Rizkya Batik, dan Lil Public—dengan tiga desainer muda dari École Duperré Paris: Bjorn Backes, Mathilde Reneaux, dan Pierre Pinget.

Setiap koleksi yang tampil membawa cerita dan keindahan yang berbeda—mulai dari eksplorasi kain tradisional, teknik berkelanjutan, hingga siluet eksperimental yang unik. Para desainer muda ini menampilkan lebih dari sekadar busana; mereka membawa cara pandang baru tentang masa depan mode.

Selama empat tahun, PINTU Incubator menjadi ruang tumbuh dan bertukar ide bagi talenta muda dari Indonesia dan Prancis. Di tengah perayaan hubungan diplomatik kedua negara, “Echoes of the Future” menjadi pengingat bahwa masa depan dirancang lewat kolaborasi, keberanian bereksperimen, dan pertemuan lintas budaya yang tulus.

Nona Rona — “Lavanya”
Lavanya menghadirkan keanggunan yang tumbuh dari kelembutan. Dengan siluet longgar, warna-warna netral, dan motif bunga yang halus, koleksi ini mencerminkan perjalanan seorang perempuan yang tenang namun berani. Sulaman penuh makna dan potongan ringan tapi tegas memperkuat karakter feminin yang memikat. Koleksi ini tak hanya indah dipandang, tapi juga menjadi teman setia dalam momen-momen paling jujur: saat seorang perempuan menjadi dirinya sendiri.

Rizkya Batik – “MIMO”
Kadang yang paling indah justru datang dari hal-hal yang sederhana dan tulus — seperti baju yang terasa dekat dengan hidup kita. Itulah MIMO. Dengan potongan loose yang memberi ruang bernapas, sentuhan batik tulis Solo yang hangat, dan warna alam yang menenangkan, koleksi ini terasa seperti pelukan. Motif stripes yang berpadu batik memberi kesan segar tapi tetap familiar. Dirancang untuk perempuan yang terus bergerak, terutama ibu menyusui, MIMO menyisipkan bukaan tersembunyi sebagai bentuk perhatian kecil yang bermakna besar. Karena MIMO hadir bukan hanya untuk dipakai, tapi untuk menemani.


Presented by Le Chateau Living

Lil Public – “Hisashi Series”
Koleksi debut Lil Public di JF3 Fashion Festival 2025 menghadirkan Hisashi Series—sebuah kisah visual tentang kenangan yang muncul lewat makanan. Terinspirasi dari novel karya Hisashi, koleksi ini mengangkat tema keluarga, cinta, dan rindu, lewat cara yang hangat dan jenaka. Karakter monster yang emosional menjadi simbol berbagai rasa, muncul bersama ilustrasi makanan ikonis seperti sushi, mackerel, udon, hingga kue Natal. Semua dituangkan dalam gaya santai khas Lil Public, dengan potongan oversize yang nyaman dan mudah dipakai. Dari hoodie hingga topi, Hisashi Series merayakan keindahan hal-hal kecil yang menyentuh—dalam busana yang tak hanya bisa dikenakan, tapi juga dirasakan.

Dya Sejiwa – “Merekah”
Merekah dari Dya Sejiwa adalah perayaan akan proses tumbuh—pelan, lembut, tapi penuh daya. Terinspirasi dari bunga yang mekar dan metamorfosis kupu-kupu, koleksi ini menampilkan siluet ringan dengan detail yang bisa disesuaikan, menggunakan material seperti tenun bulu, sutra organza, dan sutra mentah. Warna pastel yang berpadu aksen tegas menggambarkan keseimbangan antara kelembutan dan kekuatan. Seperti namanya, Merekah mengajak kita membuka diri pada cahaya dan merangkul versi diri yang lebih utuh dan berani.

CLV “W.I.P – Work In Progress”
Keindahan koleksi W.I.P – Work In Progress dari CLV terletak pada cara fashion bertemu fungsi dengan begitu natural. Warna tan yang earthy, potongan kasual yang terinspirasi dari ruang kerja, dan detail modular seperti tas yang menyatu dalam jaket atau rompi menjadikan setiap look terasa segar dan progresif. Ini adalah fashion yang tidak hanya dilihat, tapi juga dipakai untuk bergerak, berkarya, dan mengekspresikan jati diri.

Denimitup — “The Revelation”
The Revelation dari Denimitup bukan hanya unik dalam tampilan, tapi juga dalam rasa yang ditinggalkannya. Lewat denim washed, kontras warna yang berani, serta aksen batik dan songket, koleksi ini berbicara tentang dunia yang telah berubah — tentang kegelisahan, keberanian, dan bagaimana pakaian bisa menjadi bentuk perlawanan sekaligus perlindungan. Terdiri dari enam look bergaya grunge yang terasa sangat personal, The Revelation bukan sekadar mode, melainkan cermin diri di tengah dunia yang terus bergerak.

Saat keahlian tangan bertemu dengan imajinasi tanpa batas, lahirlah karya yang bukan hanya memikat mata, tapi juga membangkitkan rasa penasaran. Pierre Pinget, Mathilde Reneaux, dan Bjorn Backes, tiga talenta dari Ecole Duperré yang bergengsi, mempersembahkan koleksi yang menjadikan tekstil sebagai bentuk seni penuh gaya. Setiap detail dirancang dengan teliti, menciptakan estetika yang segar dan berani. Intip koleksi mereka di sini dan rasakan sentuhan fashion yang abadi.

Pierre Pinget – “Mafia”
Koleksi ini memancarkan keindahan yang tenang tapi penuh makna. Dengan potongan blazer dan jas yang tajam, serta material mewah seperti wol flanel, organza sutra, dan beludru ungu iridescent, tiap tampilan terasa kuat tanpa harus berteriak. Jahitan tangan yang dibiarkan terbuka, dan detail bergaya undone yang tampak berantakan, menjadi simbol dari jaringan tersembunyi—tentang hal-hal yang tak selalu terlihat, tapi tetap ada. Lewat setiap siluet, koleksi ini mengajak kita melihat kekuatan dari sisi yang lebih lembut dan manusiawi.

Mathilde Reneaux – “Syrius, it dog”
Keunikan dari Syrius, it dog karya Mathilde Reneaux menyentuh hal yang jarang dibahas dalam fashion: bagaimana hewan peliharaan bisa berubah menjadi simbol gaya hidup. Lewat aksesori berbentuk tubuh anjing, bordir tangan, dan potongan busana yang emosional, koleksi ini mengajak kita berpikir ulang soal hubungan manusia dan hewan. Dari dress hingga mantel panjang, setiap tampilan membawa cerita. Puncaknya ada pada jaket berbentuk tubuh dan kepala anjing—penuh emosi, tak nyaman, tapi sulit dilupakan.

Björn Backes – “Requiem”
Requiem adalah cara Björn Backes menghidupkan kembali kenangan—dari potongan tiket hingga kertas usang—menjadi busana yang penuh makna. Terinspirasi dari arsitektur gotik dan suasana gereja, koleksi ini tampil dengan siluet tegas, detail rantai (chainmail), dan sentuhan spiritual. Aroma kemenyan mengisi ruang peragaan, membangkitkan rasa tenang sekaligus penasaran. Beberapa pakaian memiliki kantong tersembunyi untuk menyimpan suvenir, seolah mengajak kita mengingat hal-hal kecil yang pernah berarti. Lewat karya ini, Björn tak hanya merancang pakaian—ia menciptakan ruang bagi kenangan untuk hidup kembali.

Magran LivingCoulisse | INK