presented by

Balada Empat Satria DFK 2019

SHARE THIS
2.54K

Published by Sugar & Cream, Friday 17 January 2020

Text by Steve J Martin, Images Courtesy of Jakarta Fashion Week & S&C

Borderless Sensation

Memasuki tahun ke-12, Dewi Fashion Knights masih menjadi ajang mode yang paling ditunggu. Karya siapa yang berhasil mencuri perhatian?

Empat deasiner dan empat karakter yang berbeda. Itulah yang terjadi dalam Dewi Fashion Knights 2019. Dewi Fashion Knights memang menjadi ajang yang paling ditunggu di Jakarta Fashion Week. Ajang ini juga bisa dibilang menjadi ajang supremasi paling bergengsi bagi desainer Indonesia. Dengan kata lain, ini merupakan perayaan bakat terbaik industri mode Indonesia.

Tahun ini, Dewi memilih Auguste Soesastro, Jeffry Tan, Mel Ahyar, dan Adrian Gan sebagai empat kesatria mode mereka. Masing-masing sebenarnya memiliki karakter berbeda. Auguste Soesastro dikenal dengan desainnya yang reduktif, serta cenderung meminimalisasi permainan detail, tetapi memberikan penekanan pada tailoring yang kuat.

Auguste Soesastro

Jeffry Tan dikenal dengan gaun-gaunnya yang feminin dan misterius. Wanita modern ala Jeffry Tan bukanlah wanita yang mengumbar kulitnya terlalu banyak. Pada kutub yang lain, ada Mel Ahyar yang dikenal dengan desain yang nyeleneh serta permainan teknik aplikasi yang selalu out of the box.


Auguste Soesastro

Terakhir ada Adrian Gan, yang bisa dibilang sebagai satu dari sedikit couturier asli dari Indonesia. Adrian baru saja diperkenalkan sebagai salah satu desainer gaun pernikahan paling diincar di Asia menurut Harpers Bazaar Amerika.

Jeffry Tan

Dengan tema Borderless, para desainer ini ditantang untuk menciptakan tafsirannya sendiri. Tema ini dipilih seiring dengan perkembangan teknologi yang menghilangkan beragam batas. Jarak dan waktu, gender dan ekspresi identitas, hingga pakaian yang sesuai umur kini semua menjadi blur.


Jeffry Tan

Auguste Soesastro menafsirkan tema itu lewat permainan tailoring sportswear dari olahrga-olahraga kolonial di masa silam. Berburu dan berkuda di masa penjajahan Belanda, menciptakan gaya berpakaian yang mempertemukan Timur dan Barat.

Mel Ahyar

Penggunaan blangkon yang diubah sedemikian rupa dengan sentuhan modern dengan setelan jas, atau gaun bersiluet kebaya dengan buckle yang khas menandakan itu semua. Auguste juga ingin mengatakan kalau batasan antara gaun malam dengan setelan harian yang lebih utilitarian kini juga semakin kabur.


Mel AhyarBagi Jeffry Tan, Borderless, berarti mengaburkan ekspresi gender. Untuk pertama kalinya dia menciptakan pakaian bagi pria berdampingan dengan koleksi bagi wanita. Hanya saja, presentasi dari Jeffry Tan—meskipun detail pakaiannya secara teknis sangat impresif—mereduksi banyak hal yang sebenarnya bisa dieksplorasi lebih jauh jika Jeffry sedikit lebih kreatif dalam urusan peragaan, seperti koreografi, permainan lampu ataupun pemilihan musik.


Mel Ahyar

Sementara itu, bagi Mel Ahyar, Borderless ditafsirkan lewat realitas semu yang seringkali diciptakan lewat media sosial. Mel menciptakan karakter-karakter yang dia tuangkan dalam pakaiannya. Mulai dari drama queen yang sensasional, hingga karakter pelancong kelas atas yang membanjiri feed Instagramnya dengan foto-foto travel mewah. Belum tentu realitas di medsos mereka sama dengan kehidupan nyata bukan?


Presented by Interni Cipta Selaras

Adrian Gan memilih untuk mengerjakan apa yang dia suka ketimbang mengikuti selera kliennya. Bekerjasama dengan kolektor ulos Torang Sitorus, Adrian dengan kemampuan teknisnya mengolah ulos yang sudah tidak layak dikoleksi menjadi pakaianmodern siap pakai.

Adrian Gan

Adrian mengubah inspirasi pakaian adat yang vintage menjadi sebuah gaun modern dengan nuansa Indonesia yang kental, tapi relevan dengan masa kini. Ini menjadi sajian di luar ekspektasi banyak orang.


Adrian Gan

Memasuki usia belasan tahun, DFK menjadi sebuah institusi yang diagungkan oleh banyak orang. Ajang ini masih menjadi sebuah crème de la crème bagi desainer Indonesia. Terpilih menjadi salah satu kesatria mode merupakan sebuah kebanggaan besar. Sayangnya, Dewi tentu tidak bisa memuaskan semua orang. Akan selalu ada suara sumbang yang tidak setuju dengan pilihan kesatrianya.

Adrian Gan

Untuk itu, Dewi sebenarnya perlu merumuskan ulang, apakah DFK itu? Apakah DFK hanya sebuah ajang puncak penutup JFW, atau sebenarnya ini memang sebuah penghargaan khusus bagi pencapaian desainer Indonesia dengan kemurnian karya?

Coulisse | INKZipblind & VF