presented by

Virtual Exhibition – “Irama Pusara Rasa” ( Institut Seni Indonesia Yogyakarta)

SHARE THIS
2.75K

Published by Sugar & Cream, Wednesday 05 May 2021

Text by Sulthan Bil Qisthi

Seni, Konflik & Emosi Manusia : 25 April-1 May 2021

Rasanya kita semua sepakat, satu tahun ke belakang menjadi momok yang menakutkan. Skalanya mulai dari tingkat lokal, nusantara bahkan dunia. Beberapa hiruk-pikuk tanpa aba-aba muncul bertubi-tubi. Dalam waktu yang tergolong singkat pandemi covid, bencana alam, konflik sosial dan politik, menjadi bagian sejarah hidup kita.

Manusia menjadi objek lunak atas bengisnya fenomena tersebut. Dipaksa merasakan yang tidak ingin dirasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa seluruh peristiwa ini membuat kondisi mental, pikiran dan sanubari manusia tidak stabil. Beberapa lembaga mengadakan survei terhadap beberapa kalangan untuk meneliti dampak peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 2020. Salah satunya adalah lembaga penelitian SurveiMETER yang meneliti tentang kesehatan mental masyakarat Indonesia pada tahun 2020. Dinyatakan sebanyak 55% respondennya mengalami kecemasan dan 58% respondennya mengalami depresi.

Pandemi memang dianggap sebagai multi-stressor, di mana menyebabkan stres, baik karena kecemasan terkait kesehatan, depresi akibat keadaan ekonomi atau di-PHK dari pekerjaan, dan lain sebagainya. Jika dibandingkan dengan hasil survei mengenai kesehatan mental sebelum pandemi, angka kecemasan depresi memang meningkat tajam lebih dari dua kali lipat (berdasarkan survey tahun 2017). Ini baru mengenai pandemi COVID-19. Belum lagi dampak emosional dari isu-isu selainnya. Bencana alam, juga isu sosial dan politik yang terjadi turut memberi sumbangan negatif keadaan emosional manusia.

Dihadapkan pada situasi yang memberikan pukulan besar terhadap keadaan mentalnya, manusia perlu menghadapinya. Manusia dengan pelbagai perangainya diyakini mampu dalam menghadapi situasi chaos ini. “Coping mechanism,” istilahnya. Ia adalah strategi—cara—manusia menghadapi atau mengendalikan keadaan emosionalnya. Dari sekian coping mechanism, tentu ada yang bersifat positif dan negatif. Salah satu bentuk coping mechanism yang positif dan sehat adalah dengan mengekspresikan diri—mengeluarkan unek-unek.

Ekspresi diri bisa dilakukan melalui banyak cara; menulis, bercerita, juga melalui berkarya seni. Sebagai salah satu coping mechanism, seni sudah dinyatakan efektif oleh berbagai penelitian. Seni—baik itu seni rupa, musik, sampai pertunjukan—dan aktivitas kreatif dapat membantu manusia dengan depresi dan kecemasan. Dalam disiplin ilmu neuroaesthethic ‘neuroestetika’, ilmu yang menggunakan citra otak, teknologi gelombang otak, dan biofeedback—reaksi tubuh atau pikiran terhadap sesuatu—, diuji tentang bagaimana tubuh dan pikiran manusia bereaksi terhadap seni.

Melalui penelitian ini, didapatkan bukti fisik dan ilmiah bahwa mengapresiasi dan menciptakan seni memang melibatkan pikiran manusia. Seni memang memanfaatkan emosi kita dengan cara yang sehat dan membuat kita merasa lebih baik.

Dengan latar belakang itulah sejumlah mahasiswa Prodi S-1 Tata Kelola Seni, ngkatan 2020, Institut Seni Indonesia  Yogyakarta, mengnisiasi gelaran berupa pameran virtual dengan tajuk “Irama Pusara Rasa”. Tajuk “Irama Pusara Rasa” memiliki visi menjadi wadah ekspresi yang merangkum pelbagai perangai dan kendali rasa yang berbeda satu tahun terakhir termasuk menjadi kesatuan yang berbuah romantik sentimental. Pameran virtual tersebut digelar mulai 25 April 2021 sampai 1 Mei 2021 melalui platform media sosial Instagram: @irama.pusararasa.

Pameran ini menyajikan karya dari 5 seniman undangan dan 16 seniman lolos kurasi. Undangan terbuka melalui proses open submission. Dalam pameran ini, panitia membiarkan para seniman memanifestasikan kendali rasa mereka selama satu tahun terakhir ke dalam karyanya. Beberapa jenis karya yang dipamerkan antara lain digital art, lukisan, komik ilustrasi, seni grafis, fotografi, dan juga instalasi.

Seperti yang tersemat dalam karya Zakki Fuad “Potret Diri” yang memvisualisasikan kendali rasa yang rancu di awal 2021. Setiap apa yang ia rasakan acapkali menimbulkan pemikiran-pemikiran baru, entah itu sebagai solusi atau makin mengacau.

“Potret Diri”, Zakki Fuad
Akrilik di atas kanvas
60 x 50cm
2021 

Karya Tengku Geunta “Duh Gusti”, mengutarakan narasi tersirat kendali rasa pada 2020. Konsepsinya adalah memusingkan kepusingan orang lain, membedakan yang jelas berbeda, menyakiti apa yang sudah sakit. “Duh gusti, 2020-ku,” ungkapnya.

“Duh Gusti”, Tengku Geunta
Digital Painting
2020


Presented by Zipblind

Dalam karya garapan Leo Sanjaya “Democrazy” merupakan respon kendali rasa terhadap isu politik pengesahan RUU Ciptaker. Undang-undang yang disahkan tanpa diskusi publik secara terbuka dan condong menindas rakyat jelata dengan pasal-pasal yang ada. Karya ini memvisualisasikan gerak tubuh sebagai ruang untuk berekspresi, sebab menurutnya di zaman ini bahasa yang keluar dari mulut tidak lagi menjadi ungkapan yang serius bahkan seringkali dianggap lelucon belaka.

“Duh Gusti”, Tengku Geunta
Digital Painting
2020 

Dari tiga karya di atas saja sudah tergambar khasanah pameran Irama Pusara Rasa. Belum lagi pada karya-karya lainnya. Dijamin menarik. Pameran ini diharapkan dapat menjadi medium perantara menyoal apresiasi karya, ruang diskusi, dan rekreasi dalam perspektif seni. Melalui tajuk ini pula diharapkan setiap manusia bisa berbagi apa yang dirasa, juga menghargai kendali rasa setiap manusia.

“Terhenti”, Avif Ziadi
Akrilik di atas kanvas
100 x 100cm
2021

“Man Aspiration Body Painting”, Ahmad Lisin Ajimuhajir Siregar

Fotografi
20 x 30cm
2020

Jadi jangan sampai merasa sendiri ya…
Terus ekspresikan diri dan selamat menikmati seni. +++

Sulthan Bil Qisthi
(Mahasiswa Prodi S-1 Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta)

Coulisse | INKZipblind & VF