Kain Pinawetengan: Menghidupkan Kejayaan Masa Lalu Minahasa

SHARE THIS
5.57K

Published by Sugar & Cream, Friday 20 March 2020

Text by Sylviana H, Images courtesy of Tim Muara Bagdja.

Rumah Kain Pinawetengan, Jakarta

Fashion adalah kreativitas luas tanpa batas. Dengan daya ciptanya, insan-insan fashion bisa menggali inspirasi dari berbagai hal dan menjadikannya karya busana siap pakai yang menawan, dan tentunya juga nyaman saat dikenakan.

Iyarita W. M. Mamoto, Irjen. Pol. (Purn) Dr. Benny J. Mamoto, SH, M.Si., dan Denny Malik

Publik umumnya mengenal Irjen. Pol. (Purn) Dr. Benny Jozua Mamoto, SH, M.Si. sebagai tokoh kepolisian nasional yang tegas menumpas teroris dan peredaran narkotika di Indonesia. Namun di sisi lain, Benny juga rajin menggali kekayaan budaya tanah leluhurnya di Minahasa, Sulawesi Utara, dan mengembangkan karya tenun tradisional asal wilayah tersebut, Kain Pinawetengan.

Hari Kamis (12/03) lalu, Benny dan istrinya, Iyarita Wiriawaty Mawardi, membuka toko kedua mereka yang berlokasi di Humble House, Jl. Wijaya II no. 123, Jakarta Selatan.

Rumah Kain Pinawetengan pertama, yang terletak di Mall of Indonesia (MOI), Jakarta Utara, sudah berdiri sejak tahun 2007.

Alamat Rumah Kain Pinawetengan : Jl. Wijaya 2 No .123, Jakarta Selatan.

“Kami membuka toko kedua kami di sini untuk memudahkan konsumen yang tinggal di Jakarta Selatan,” Benny mengatakan saat konferensi pers pembukaan tokonya.

Sebuah peragaan busana bertajuk ‘Kawan’ disajikan pada tamu-tamu undangan dan awak media yang memadati toko saat pembukaan hari Kamis lalu.

Busana prêt-a-porter yang dipresentasikan saat pembukaan merupakan hasil kerjasama dengan koreografer ternama Denny Malik.

“Sejak tahun 2009, saya sudah berkawan dengan Kain Pinawetengan dan menjadi koreografer untuk acara-acaranya,” Denny menjelaskan. “Saat ini, saya mencoba untuk kolaborasi lebih dalam lagi dengan Kain Pinawetengan.”

Memes dan Rienda

Denny memang sudah terbiasa mendesain kostum-kostum busana pementasannya sendiri. Kostum hasil rancangannya juga dikenakan saat tim penarinya tampil pada Pembukaan Asian Games 2018 di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Untuk peragaan kain asal Minahasa hari Kamis lalu, Denny menghelat penari-penari yang pernah bekerja sama dengannya pada era tahun 1980, 1990 dan 2000-an, seperti Aat dan Memes.

Warisan Tanah Leluhur
Kain Pinawetengan adalah wujud kecintaan Benny pada tanah leluhurnya, Minahasa. Kiprah Benny dalam melestarikan tekstil tradisional asal Sulawesi Utara tersebut berawal pada kunjungannya ke situs Watu Pinawetengan yang terletak di Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa, bersama budayawan setempat Yessy Wenas di tahun 2007.

Situs arkeologi yang berusia lebih dari 2.000 tahun tersebut berupa batu besar yang menyerupai sosok orang dewasa yang sedang bersujud. Konon, para leluhur menggunakan batu tersebut sebagai meja perundingan saat membagi wilayah kekuasaan untuk sembilan sub-etnis utama di Minahasa.

“Saya melihat guratan-guratan di batu itu sangat menarik,” kata Benny menjelaskan.  “Saya dan Pak Yessy sepakat untuk mengangkat (guratan-guratan) itu menjadi kain, karena seni kain di Minahasa sudah lama punah.”

Menurut Benny, saat ini hanya ada satu lembar wastra asli Minahasa tersimpan di Museum Nasional dan dua lembar lainnya di Tropen Museum, Amsterdam, Belanda.

Awalnya Benny memproduksi Kain Pinawetengan dengan teknologi printing dengan mengadopsi motif-motif asli dari situs arkeologi tersebut. Corak tribal yang diadopsi antara lain gambar orang mengenakan mahkota, organ reproduksi pria dan wanita serta beragam jenis ikan dan tumbuhan asal wilayah tersebut.

Namun istri Benny, Iyarita, kemudian berinisiatif untuk menghidupkan kembali seni tenun khas Minahasa yang sudah lama punah.

“Saya ingin mengangkat budaya tenun di sana,” Iyarita menjelaskan. “Dari Minahasa, untuk Minahasa. Itulah visinya Ben (Benny Mamoto, red.).”

Pelatihan tenun untuk wanita-wanita Minahasa dimulai pertengahan tahun 2007.

“Mereka antusias sekali,” Iyarita bertutur sambil tersenyum. “Yang datang (ke) pelatihan 150 orang. Tapi akhirnya, yang benar-benar mau menenun sampai sekarang hanya 16 orang.”

Enam belas penenun ini kemudian menjadi staf Wale Tenun Pa’Dior di Yayasan Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara yang dikepalai Benny Mamoto.

Corak-corak baru pun terus dikembangkan dengan riset dan penelitian mendalam.

“Sekarang sudah ada 10 motif songket Pinawetengan, dan masih ada anakan-anakannya lagi,” ujar Iyarita. Siang itu, istri Benny Mamoto mengenakan kebaya biru polos yang dipadankan dengan kain bermotif Pinatikan, hasil pengembangan dari motif Patola yang menyerupai sisik ular sawah.

Kawan
Peragaan yang dihelat pada pembukaan toko Kain Pinawetengan di Humble House hari Kamis lalu terdiri dari dua babak.

Pada babak pertama, diperagakan kain-kain tenun ikat dan songket Pinawetengan yang dikenakan sebagai pareo dengan atasan kebaya sederhana atau blus monokromatik.

Kain songket Pinawetengan tampak berkilau mewah. Ragam motif geometris, burung Manguni, manusia dan daun-daunan menambah keanggunan tampilannya. Sementara kain ikatnya mengedepankan warna-warna tanah yang membumi, seperti cokelat, terakota, hijau dan indigo. Di antara corak eksotis yang menghiasi koleksi tenun ikatnya adalah kerang, bunga matahari dan Pinatembaga, yaitu perhiasan yang dikenakan pria Minahasa saat pergi berperang.

Pada babak ke-2, Iyarita dan Denny Malik menyajikan busana-busana ready-to-wear yang dibuat dari kain print bercorak Pinawetengan.

Di antara koleksi yang ditampilkan terdapat gaun mini bersiluet A-line yang dihiasi gelepai berjenjang di bagian bawahnya, gaun bergaya mermaid  dengan ragam motif khas Pinawetengan dan gaun H-line elegan yang menampilkan motif bunga cengkeh di atas kain brokad warna merah.

“Saya ingin generasi muda juga melihat bahwa Kain Pinawetengan cocok untuk berbagai model busana masa kini,” tukas Iyarita.

Ragam kain print dengan corak-corak khas Minahasa ini bisa dibeli di Rumah Kain Pinawetengan dengan harga mulai Rp 90.000 per meter, sedangkan kain tenun ikat dan songketnya dihargai mulai Rp 1.000.000 per meternya.

Benny Mamoto sendiri berkomitmen untuk terus menggali seni tenun khas Sulawesi Utara.

“Seni adalah kreativitas,” ujar Benny. “Semua potensi dan identitas di daerah sana akan terus kami teliti dan angkat menjadi motif-motif baru Kain Pinawetengan.”

Coulisse | INKZipblind & VF