presented by

GAJAH GALLERY – GAK MURNIASIH IN ART BASEL, BASEL SWITZERLAND

SHARE THIS
2.57K

Published by Sugar & Cream, Wednesday 28 June 2023

Images courtesy of Gajah Gallery

Art Basel (16 -18 June 2023): A Solo Exhibition of I Gusti Ayu Kadek Murniasih

For Art Basel (Basel)’s 2023 Feature sector, Gajah Gallery is delighted to present a solo exhibition of the seminal artist I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966 – 2006): the artist from Southeast Asia represented in the fair’s Feature sector.

From the mid-1900s to 2006, Murniasih was a singular voice in the Indonesian art scene, particularly for her unapologetic depictions of the body, sexuality, and the depths of her subconscious. Yet, in the years following her death in 2006, she was largely in dominant narratives of Indonesian and Southeast Asian art histories. Gajah Gallery’s presentation presents a number of early paintings that have not yet been exhibited to the public, while also sparking deeper readings on salient themes in her oeuvre. In doing so, it addresses unexplored depths in Murni’s vast body of work; examines the relevance and urgency of her work today; and in exhibiting her work outside of Southeast Asia, reappraises the power of legacy in the global stage.

Born in Bali in 1966, Murni had an early life marked with hardship and profound. As a young girl, she survived   violence and demanding labour as a domestic worker. In her mid-20s, Murniasih embraced her calling as an artist. She learned under the tutelage of I Dewa Putu Mokoh, who taught her the Pengosekan School, yet she remained mainly self-taught. She honed her own style of strong curved and bright, loud colours; and broke away from traditional themes to embrace adeeply personal, interior subject matter—her traumatic past and wild, vivid dreams.

Murni painted her pains and fantasies with humour and honesty. In her world, female subjects unabashedly embrace pleasure; amorphous bodies transform from passive to active; and exaggerated erotic body parts appear alive and at times, sacred.

Presented by Interni Cipta Selaras

The works selected in this show spark rich, ongoing conversations surrounding themes of the body, trauma, dreams, and female desire—reflecting how Murni’s works, while they stem from her life, persist to resonate with audiences beyond her time and place. Diverse, unconventional iterations of the female body reveal her evolving understanding of its agency and power—ultimately subverting the pervasive male gaze and endless depictions of women as passive objects of desire. The distorted bodies in her works have also been connected to how trauma survivors commonly experience overwhelmed senses, and have affinities with the grotesque bodies that emerged in the art of her time, in response to the oppressive atmosphere of Indonesia’s New Order period. In   the truths endured by one’s body, Murni’s figures remain powerful and urgent—challenging societies that seek to repress the embodied memories of individual and collective traumas.

Recurring fantastical and natural creatures in works like Kecintaanku Bersama Burung (My Love for Birds) invite a deeper discussion on her fascination with dreams, which has been connected to the ancient knowledge and practices of indigenous peoples, shamans, and healers across history. Expanding our notions of the surreal, her ‘dream’ were also a kind of protection for the artist. In a recent interview, Murni’s Mondo Zanolini revealed that Murni described her works as dreams to avoid condemnation for her more sensual, explicit paintings, which were often labeled pornographic. What came out in her dreams was beyond her control, and she was thus merely painting her subconscious. Such paintings reveal how she shrewdly navigated taboos and shame surrounding female sexuality—enduring as testaments to the subversive power of dreams.

Since her death in 2006, her works have been hailed across Southeast Asia for their strength, originality, and ability to transcend stereotypes of other survivors of injustice. Her work has been exhibited in prestigious institutions such as the Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN); the National Gallery of Australia; and the 58th edition of Carnegie International.

Images courtesy of Gajah Gallery

Art Basel (16 -18 Juni 2023): A Sebuah Pameran Tunggal I Gusti Ayu Kadek Murniasih

Dalam rangka Art Basel (Basel) 2023 Feature Sector, Gajah Gallery dengan bangga mempersembahkan pameran tunggal seniman revolusioner I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966 – 2006): satu-satunya seniman dari Asia Tenggara yang ditampilkan dalam sektor Feature pameran bergengsi ini.

Dari pertengahan 1900-an hingga 2006, Murniasih adalah suara yang unik dalam kancah seni Indonesia, terutama karena penggambaran tubuh, seksualitas, dan kedalaman subkonsiusnya yang tanpa basa-basi. Namun, pada tahun-tahun setelah kematiannya pada tahun 2006, ia diabaikan dalam narasi dominan sejarah seni rupa Indonesia dan Asia Tenggara. Presentasi Gajah Gallery menghadirkan sejumlah lukisan awal yang beberapa diantaranya belum pernah dipamerkan ke publik, sekaligus mendorong pembacaan lebih dalam tentang tema-tema yangmenonjol dalam kekaryaannya. Dengan melakukan presentasi ini, galeri membahas kedalaman yang belum dijelajahi dalam luasnya kumpulan karya Murni; mengkaji relevansi dan urgensi karyanya dalam konteks sekarang; dan, dengan memamerkan karyanya di luar Asia Tenggara, menilai kembali kekuatan warisan budaya di panggung global.

Lahir di Bali pada tahun 1966, Murni memiliki kehidupan awal yang ditandai dengan kesulitan dan kegigihan yang mendalam. Sebagai seorang gadis muda, dia adalah penyintas kekerasan seksual dan bertahan melewati kerasnya hidup menjadi pekerja rumah tangga. Di usia pertengahan 20-an, Murniasih menerima panggilan hidupnya sebagai seniman. Dia belajar di bawah bimbingan I Dewa Putu Mokoh, yang mengajarinya gaya lukis Pengosekan, namun sebagian besar ilmunya ia dapatkan secara otodidak. Dia mengasah gayanya sendiri dengangaris-garis meliuk yang tegas dan warna yang cerah dan berani; dan melepaskan diri dari tema-tema tradisional untuk menyambut subjek batin yang sangat pribadi — masa lalunya yang traumatis dan mimpi-mimpinya yang liar dan hidup. Murni melukis rasa sakit dan fantasinya dengan humor dan kejujuran.

Presented by Interni Cipta Selaras

Di dunianya, subjek perempuan tanpa malu-malu menyambut kenikmatan; tubuh amorfis berubah dari pasif menjadi aktif; dan bagian tubuh erotis yang digambarkan berlebihan tampak hidup dan kadang-kadang, sakral. Karya-karya yang dipilih dalam presentasi ini memicu perbincangan yang kaya dan berkesinambungan seputar tema tubuh, trauma, mimpi, dan hasrat perempuan—mencerminkan bagaimana karya-karya Murni, meski berasal dari kehidupannya, tetap beresonansi dengan penonton di luar zaman dan wilayah asalnya. Penggambaran tubuh perempuan yang beragam dan tidak konvensional dalam karyanya mengungkapkan pemahaman yang terus berkembang mengenai otonomi dan kekuatannya—yang pada akhirnya mensubversi penggambaran perempuan yang tak ada habisnya sebagai objek hasrat pasif dan ‘tatapan pria’ (male gaze) yang telah mendarah daging. Tubuh yang terdistorsi dalam karya-karyanya dapat dikaitkan dengan bagaimana para penyintas trauma umumnya mengalami kewalahan rangsangan indera, atau dikaitkan dengan kemunculan kecenderungan penggambaran tubuh-tubuh mengerikan yang muncul dalam ranah seni pada masanya, sebagai respons terhadap suasana opresif masa Orde Baru di Indonesia. Menggarisbawahi kebenaran yang ditanggung oleh tubuh seseorang, sosok Murni tetap kuat dan mendesak–menantang masyarakat yang berusaha untuk menekan ingatan yang menubuh dari trauma individu dan kolektif.

Penggambaran hewan nyata maupun makhluk fantastik yang berulang dalam karya-karya seperti Kecintaanku Bersama Burung mengundang diskusi lebih dalam tentang ketertarikannya pada mimpi, yang telah dikaitkan dengan pengetahuan dan praktik kuno masyarakat adat, cenayang, dan tabib-tabib sepanjang zaman. Memperluas gagasan tentang surealisme, lukisan ‘mimpinya’ juga merupakan semacam perlindungan diri bagi si seniman. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, pasangan Murni semasa hidupnya, Mondo Zanolini, mengungkapkan bahwa Murni mendeskripsikan karya-karyanya sebagai ‘mimpi’ untuk menghindari kecaman atas lukisannya yang lebih sensual dan eksplisit, yang sering diberi label pornografi; karena apa muncul dalam mimpinya berada di luar kendalinya, ia hanya melukis alam bawah sadarnya. Lukisan-lukisan seperti itu mengungkapkan bagaimana dia dengan cerdik menavigasi label tabu dan rasa malu seputar seksualitas perempuan—bertahan sebagai bukti kekuatan subversif mimpi.

Sejak kematiannya pada tahun 2006, karya-karyanya telah disambut di seluruh Asia Tenggara karena kekuatan, orisinalitas, dan kemampuannya untuk melampaui klise kisah korban ketidakadilan. Karyanya telah dipamerkan di berbagai institusi bergengsi seperti Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN); the National Gallery of Australia; dan 58th edition of Carnegie International.

Coulisse | INKZipblind & VF