presented by

DARI “VAN DORP” KE “MONGGO DAHAR”

SHARE THIS
7.80K

Published by Sugar & Cream, Wednesday 07 October 2020

Text by Tjahjono Rahardjo, images courtesy  Tjahjono Rahardjo, Dina Dewijanti, Dewi Gunawan & Google

Revitalisasi Fasad Gedung Tua : Oude Stadhuis

Di sisi timur Jalan Branjangan Kota Lama Semarang berderet lima bangunan, mulai dari nomor 1 sampai nomor 9. Bangunan-bangunan ini adalah bekas kompleks perusahaan percetakan Van Dorp. Sebenarnya ada enam bangunan, tapi bangunan nomor 11 sudah dirobohkan dan dijadikan area parkir. Bangunan di Jalan Branjangan 1 dan 3 digunakan sebagai kantor sedangkan bangunan nomor 5 sampai 11 adalah tempat operasional percetakan berlangsung.
Fasad baru setelah revitalisasi

Sebagai catatan, Jalan Branjangan di zaman kolonial bernama Oude-Stadhuisstraat (Jalan Balaikota Lama) karena di ujung utara jalan itu pernah berdiri bangunan Balaikota Semarang yang pertama. Sedang  area percetakan Van Dorp antara 1755 sampai 1787 ditempati rumah yatim yang didirikan oleh Nicolaas Hartingh, Gubernur VOC untuk Pantai Timur-Laut Jawa (Gouverneur van Java’s Noord-Oostkust).

Setelah rumah yatim dipindahkan ke tempat lain area itu ditempati Oliphant & Co, perusahaan percetakan pertama di Hindia Belanda. Selain menerima pesanan cetakan serta menerbitkan buku pelajaran dan bacaan umum, Oliphant & Co juga menerbitkan surat kabar Semarangsch Handels- en Advertentieblad  (1845) dan Semarangsche Courant (1846). Pada 1863, bersamaan dengan dimulainya pembangunan jalan kereta api Semarang-Vorstenlanden (daerah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta), Semarangsch Handels- en  Advertentieblad berganti nama menjadi De Locomotief: Semarangsch Handels- en  Advertentieblad.
3 D Modeling Facade Oude Stadhuis


Presented by Interni Cipta Selaras

Pada 1857 Oliphant & Co dibeli oleh G.C.T. van Dorp, seorang pengusaha yang datang ke Hindia Belanda sebagai serdadu. Karena Van Dorp bermitra dengan pengusaha lain maka perusahaannya diberi nama G.C.T. van Dorp & Co, Boekhandel en Drukkerijen. Van Dorp antara lain menerbitkan surat kabar Selompret Melajoe, surat kabar berbahasa Melayu pertama di Semarang.

Potret yang berhasil dikumpulkan memperlihatkan fase perubahan fasad gedung tua sebelum revitalisasi dan sekarang di beri nama Oude Stadhuis

Di tahun 1920an dan 1930an Van Dorp berkembang pesat. Pada 1922 dibuka toko buku di Bandung, menyusul setahun kemudian toko buku di Surabaya. Kedua toko buku baru itu dirancang oleh Wolff Schoemaker, arsitek kenamaan di zamannya. Wolff Schoemaker yang lahir di Banyubiru (Kabupaten Semarang) pada 1882 adalah pembimbing Sukarno (yang kelak menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama) di Technische Hoogeschool Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung).

Pada masa yang hampir bersamaan Van Dorp mengganti mesin-mesin cetaknya di Semarang dengan peralatan yang modern. Diperkirakan pada saat itu pula fasade (tampak depan) kompleks bangunan-bangunan di Oude-Stadhuisstraat dirubah menjadi bergaya Art Deco, meski bagian dalamnya tidak banyak berubah. Di Semarang Van Dorp membuka toko buku baru di Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda) untuk memasarkan buku-buku yang diterbitkannya.

Tjahjono Rahardjo, Penulis & Sejarahwan Kota Semarang

Pada masa itu pula Van Dorp menghadapi pemogokan buruh besar. Buruh Van Dorp menuntut kenaikan upah 50 persen, cuti tahunan 2 minggu, hadiah Lebaran, dan upah harian dua kali lipat pada hari Minggu dan hari libur.  Tuntutan itu ditolak sehingga pada 23 Februari 1920 buruh Van Dorp yang didukung oleh buruh lainnya di Semarang melakukan pemogokan. Diperkirakan sekitar 800 orang buruh terlibat, separuh di antaranya buruh percetakan Van Dorp. Akhirnya tercapai kesepakatan kenaikan upah 20 persen dan pemberian uang makan.
Penggerak revitalisasi : Dina Dewijanti dan Dewi Gunawan

Setelah Indonesia merdeka Van Dorp yang merupakan perusahaan Belanda masih sempat beroperasi. Namun pada akhir 1950an perusahaan itu dinasionalisasi dan diambil alih pemerintah Republik Indonesia. Percetakan diteruskan oleh Perusahaan Negara Karja Tjotas dan toko buku dikelola Perusahaan Negara Permata Nusantara. Sedangkan bangunan kantor administrasi ditempati Kantor Sosial Daerah Karesidenan Semarang. Setelah kemudian  lama kosong dan terbengkalai bangunan di Jalan Branjangan 1 sempat digunakan sebentar oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Ketika itu gedung  dicat warna merah sehingga mendapat julukan “Gedung Merah.”

Penggerak revitalisasi : Dina Dewijanti dan Dewi Gunawan

Pada 2017 sebagian gedung percetakan Van Dorp dimaanfatkan oleh investor dari Korea untuk dijadikan galeri foto 3-dimensi. Sedangkan bekas kantor administrasi di Jalan Branjangan 1 dan 3 difungsikan sebagai pusat kuliner “Monggo Dahar Food Market.” Dalam proses alih fungsi ini wajah bangunan di Jalan Branjangan 1 dan 3 dikembalikan lagi menjadi berarsitektur Indisch Rijksstijl (Indies Empire Style).

Semula tidak ada rencana untuk mengembalikan fasade bangunan ke gaya Indisch Rijkstijl. Apalagi bagi Dina Dewijanti Setjahusada yang menangani rancangan bangunan, gaya Art Deco gedung Van Dorp itu sudah dikenalnya sejak kecil karena sering melewati gedung itu ketika naik becak bersama ibunya. Namun ketika Dina dan Dewi Gunawan (penanggungjawab gedung) melihat foto lama gedung Van Dorp dari akhir abad 19 mereka sepakat untuk mengembalikannya bergaya Indisch Rijkstijl. Mereka merasa bahwa wajah gedung Van Dorp di masa itu lebih berkarakter daripada setelah direnovasi pada masa 1920-1930an.
Penulis Tjahjono Rahardjo dengan Dina Dewijanti dan Dewi Gunawan

Namun usaha mengembalikan fasade lama bangunan ini cukup sulit karena data dan dokumentasi yang ada sangat sedikit. Karena itu harus dicari berbagai referensi dari bangunan-bangunan lain yang sezaman. Dalam proses ini ratusan foto dan sketsa dibuat. Yang menarik, dalam membuat gambar rencana Dina yang termasuk perencana “old school” tidak menggunakan komputer. Seluruhnya dikerjakannya secara manual.

Sementara itu ketika pekerjaan fisik mulai dilaksanakan muncul pandemi Covid-19. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi Dewi yang menangani logistik. Untuk mencegah penyebaran penyakit itu misalnya, para pekerja sepakat untuk tidak pulang ke rumah masing-masing dan dan tidak keluar dari lokasi pekerjaan. Sebagai konsekuensinya segala kebutuhan mereka, termasuk makan tiga kali sehari, harus dipasok dari luar.

Meski menghadapi tantangan yang cukup berat berkat kegigihan dan kerja keras Dina Dewijanti dan Dewi Gunawan gedung itu berhasil dikembalikan ke “its former glory.” Dengan penataan cahaya di malam hari  yang semakin memperkuat karakternya, gedung Van Dorp yang telah beralih fungsi menjadi gedung Monggo Dahar telah menambah daya tarik Kota Lama Semarang. Dan yang lebih bagus lagi, ke depan selain sebagai pusat kuliner bangunan itu akan juga diisi dengan kegiatan-kegiatan sosial dan budaya yang akan memperkaya kegiatan di Kota Lama Semarang yang saat ini masih didominasi kafe dan restoran.

Referensi:

Dullemen, Jan van (2010) Tropical Modernity: Life and Work of C.P. Wolff Schoemaker, Amsterdam: Sun Publishers.

Kholiludin, Tedi (2014) Mogok, Senjata Kaum Buruh Semarang, https://elsaonline.com/3034/ (diunduh 26 September 2020).

Liem Thian Joe (2004) Riwayat Semarang, Jakarta: Hasta Wahana.

Rukardi (2018) Gedung Percetakan Pertama di Semarang Riwayatmu Kini, https://seputarfib.undip.ac.id/gedung-percetakan-pertama-di-semarang-riwayatmu-kini/ (diunduh 26 September 2020).

Rukardi (ed.) (2020) Riwayat Kota Lama dan Keunggulannya sebagai Warisan Dunia, Semarang: Sinar Hidoep.

Coulisse | INKZipblind & VF