presented by

DAPOTT: ENDORPHINS IN FULL BLOOMS

SHARE THIS
2.30K

Published by Sugar & Cream, Friday 16 February 2024

Images courtesy of Kiniko & Artotel Artspace; Text by Riski Januar

ARTOTEL Thamrin: Feb 2 – April 07, 2024

Ida Bagus Udayana, atau yang lebih dikenal sebagai Dapott, adalah seorang seniman yang berbasis di Yogyakarta dan Bali. Karya Dapott merupakan hasil dari pengamatannya tentang hubungan antara manusia dan lingkungannya, yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Secara visual, Dapott sangat dipengaruhi oleh dunia Skateboarding, Musik, Budaya Pop, dan Kartun. Melalui karakter-karakter figur seperti anak-anak, Dapott berusaha untuk menginterpretasikan ide-ide yang ia temukan menjadi komposisi yang visual padat, bermain, dan seimbang. Karya-karya seni Dapott telah dipamerkan di berbagai kota di Indonesia dan internasional.

Selain memamerkan seni visual, Dapott telah bekerja sama dengan jenama – jenama seperti Kura Kura Beer, KAHF, dan musisi seperti Rollfast dan Agung Mango.

Finally Bloom
Acrylic, Aerosol on Canvas | 150 x 150 cm | 2024

Waktu berhenti sebentar,
waktu beristirahat di antara dua babak.

Riski Januar

Ketika interview dengan Dapott untuk pameran tunggalnya kali ini, saya tertuju dengan kata jeda dalam menginterpretasikan karya-karyanya. Dapott mengamati bahwa terlalu banyak ketergesaan, kesibukan, entah itu hadir pada sekitarnya atau dari apa yang dia amati di luar dirinya, maka sepertinya kita harus berjarak dari kesibukan itu sejenak dan kembali melihat diri kita dari hal-hal yang selama ini terlewatkan. Pada karya-karya Dapott, dibalik aktivitas menyenangkan yang dia lukiskan, saya mengamati bahwa ada sebuah kritik terhadap “percepatan” yang dalam konteks ini menyinggung persoalan tentang kehidupan kota, cultural lag, ketergantungan teknologi, konsumerisme dan kemanusiaan itu sendiri.

The Way You Move
Is A Mistery
Acrylic, Aerosol on Canvas | 150 x 150 cm | 2024

Pada kehidupan kota ada istilah yang disebut dengan Crowding Stress. Kesesakan (crowding) adalah perasaan subjektif individu terhadap keterbatasan ruang yang ada (Holahan, 1982 dalam Prabowo, 1998) atau perasaan subjektif karena terlalu banyak orang di sekelilingnya (Gifford 1987, dalam Prabowo, 1998). Kesesakan muncul apabila Individu berada dalam posisi terkurung akibat persepsi subyektif keterbatasan ruang dan terlalu banyaknya stimulus yang tidak diinginkan dapat mengurangi kebebasan mas- ing-masing individu, serta informasi antar individu semakin sering terjadi tidak terkendali, dan informasi yang diterima sulit dicerna (cholidah et al., 1996, dalam Prabowo, 1998).


Presented by Galleria

Pada karya Dapott, saya melihat sisi yang lain dari crowding yang ada pada kehidupan kota. Dapott seolah membuat sesuatu yang lapang dibalik kesesakan itu. Pada kar-ya-karyanya dapat kita amati bahwa dia melukiskan kegiatan bersenang-senang yang menunjukkan aktivitas bermain dengan latar belakang pagar, bangunan, tanaman, hewan dan fashion serta aksesori pada figur-figurnya yang seolah mengidentifikasi masyarakat kota.

Together We Can Solve
Anything
Acrylic, Aerosol on Canvas | 120 x 120 cm | 2024

Karyanya yang juga sesak dengan berbagai macam objek, namun kesesakan itu dapat diolah Dapott sebagai sesuatu yang harmonis, yang saling melengkapi dalam aktivitas figur yang ada pada lukisannya.

Spiral Love
Acrylic, Aerosol on Canvas | 120 x 120 cm | 2024

Dapott mengkonstruksi kesesakan sebagai sesuatu yang saling melengkapi, interaksi dan komunikasi yang semestinya menjadi kesenangan dan kebahagiaan. Karya-karyanya tidak memisahkan kita dari kehidupan kota yang sesak dan penuh dengan percepatan, melainkan memberi kita jarak untuk melihat diri kita dan kehidupan itu sendiri.

After The Storm
Acrylic, Aerosol on Canvas | 120 x 150 cm | 2024

Fenomena kehidupan urban tentunya tidak terlepas dari kemajuan teknologi yang men- dukung aktivitas perkotaan itu sendiri. Crowding Stress yang berdampak pada kehidupan kota tentunya merupakan konsekuensi dari kemajuan zaman, salah satu penyebabnya adalah teknologi internet yang membuat segala sesuatunya menjadi cepat, komunikasi yang tidak lagi terbatas ruang dan waktu, serta peningkatan perilaku konsumtif di masyarakat sehingga segala sesuatunya harus tersedia dengan cepat dan instan.

Golden Hour
Acrylic, Aerosol on Canvas | 120 x 150 cm | 2024

Teknologi telah mengubah bentuk masyarakat manusia, dari masyarakat dunia lokal menjadi masyarakat dunia global, sebuah dunia yang sangat transparan terhadap perkembangan informasi, transportasi serta teknologi yang begitu cepat dan begitu besar mempengaruhi peradaban umat manusia, sehingga dunia juga dijuluki sebagai the big village, yaitu sebuah desa yang besar, dimana masyarakatnya saling kenal dan saling menyapa satu dengan lainnya. Masyarakat global itu juga dimaksud sebagai sebuah kehidupan yang memungkinkan komunitas manusia menghasilkan budaya-budaya ber- sama, menghasilkan produk-produk industri bersama, menciptakan pasar bersama, melakukan pertahanan militer bersama, menciptakan mata uang bersama, dan bahkan menciptakan peperangan dalam skala global di semua lini (Burhan, 2006).

Tropical Warrior
Acrylic, Aerosol on Canvas | 120 x 120 cm | 2024

Dapott sepertinya menyadari akan fenomena ini yang direfleksikan dalam karyanya sebagai figur anak kecil yang mengadopsi berbagai macam unsur perawakan manusia di dunia, seperti bibir tebal, mata sipit, anatomi, dan warna kulit, yang menunjukkan sebuah figur yang mewakili manusia tanpa dibatasi sekat perbedaan ras dan wilayah. Tidak adanya identifikasi spesifik perihal identitas ini, sepertinya merefleksikan pembicaraan tentang dunia global atau yang dalam istilah Burhan disebut dengan the big village.

Joyride
Acrylic, Aerosol on Canvas | 120 x 120 cm | 2024

Kemajuan teknologi ini tentu memiliki konsekuensi salah satunya adalah cultural lag. Munculnya cultural lag (ketimpangan kebudayaan) terjadi pada saat unsur-unsur kebu- dayaan tidak berkembang secara bersamaan. Salah satu unsur kebudayaan yang satu berkembang lebih cepat dari unsur kebudayaan yang lain, sehingga mengakibatkan unsur kebudayaan yang lain mengalami ketertinggalan. Biasanya hal ini sulit untuk diperbaiki demi menyamakan perkembangan kebudayaan yang terjadi. Hal mencolok yang terjadi adalah terjadinya ketertinggalan cara berpikir dan bertindak masyarakat terhadap sesuatu dibandingkan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Ogburn, 1950).

Cultural lag merupakan istilah yang menjelaskan ketergesaan dan ketidaksiapan, yang merupakan anomali dari kemajuan peradaban itu sendiri. Karya-karya Dapott mengajak kita untuk menyadari hal-hal ini dan mengajak kita untuk mengambil jarak dari segala ketergesaan, kesibukan, dan kesesakan sehingga kita dapat melihat diri kita dan dunia itu sendiri. Melalui aktivitas bermain yang divisualkan Dapott, Bermain merupakan rehat untuk menghasilkan endorphins, menyadari kebahagiaan dari hal-hal sederhana di balik dunia yang serba cepat. Hal ini seperti jeda dalam dua babak di sebuah pertandingan olahraga, yang dalam masa jeda adalah bagian penting untuk menghadapi babak selanjutnya

Bantul 24 Januari 2024

Coulisse | INKZipblind & VF