Cato, Mengguncang Dunia dari Hutan Rimba Papua
Published by Sugar & Cream, Thursday 07 September 2017
Text by Fidel, Salam Papua, All rights, courtesy of Surat Kabar Harian Salam Papua, Timika
Charles Toto – Junggle Chef from Papua
“Saya akan terus melangkah dan berlari mengejar mimpi, mimpi kesuksesan. Setiap tapak langkah yang kulewati tidak akan membiarkan energiku sia-sia bersama waktu yang berlalu siang dan malam. Akanku genggam kepahitan hidup sebagai adonan membangkitkan semangat bisa menghindari bagian yang kelam yang ada dihadapan mata.”
Charles Toto
Demikianlah spirit hidup yang patut ditiru dan menginspirasi kita semua dari sosok seorang anak Papua yang sudah mengguncang dunia lewat ketrampilannya membuat “Pizza ala Papua dari tepung sagu dan ulat sagu.” Bagaimana kisahnya! Ikuti wawancara eksklusif media ini dengan salah satu sosok anak Papua yang memanfaatkan sumber kearifan makanan lokal Papua menembarkan cita rasa orang-orang terkenal dunia, seperti Mick Jagger, Melinda Gates dan Zazie (penyanyi Prancis)
Charles Toto, images Courtesy sugarandcream.co
Kita bisa menyaksikan kehebatan sosok yang satu ini ketika bagaimana dia membuka jendela Papua kepada dunia dari hutan rimba Papua lewat makanan lokal Papua. Filosofi hidupnya, hutan Papua adalah pasar bagi orang Papua berbelanja tanpa mengeluarkan uang. Siapa dia? Dia adalah Charles Toto, anak asli kelahiran Kampung Ormu Jayapura, tepatnya di Dok VIII, 24 Maret 1977.
Cato panggilan akrab Charles Toto mengakui perjalanannya bisa membuka jendela Papua lewat makanan tradisional Papua kepada dunia. Dia mengisahkan kisahnya berawal dari sebuah tapak kaki yang tidak pernah merasa lelah menyusuri hutan rimba Papua bersama-sama dengan para petualang dari berbagai negara di dunia. Bagi para petualang, tentu ketika menyusuri hutan rimba membutuhkan persiapan makanan yang banyak selama dalam petualangan di hutan. Konsekuensinya setiap petualang memerlukan tenaga pemikul barang dan pemikul makanan. Masuk akal! Namun, bagi Cato yang sudah terbiasa dan sangat mengenal berbagai sumber makanan yang tidak kalah lezat dan kaya protein semua tersedia di dalam hutan.
Charles Toto & Martinus, images Courtesy sugarandcream.co
“Dari situlah saya tergerak dan mensiasati bagaimana meringankan beban, menghemat biaya dari teman-teman saya yang suka hal-hal unik dalam hutan rimba Papua. Mereka tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk pemikul makanan. Saya memutar otak dan memanfaatkan keahlian saya memasak dengan memperkenalkan kekayaan alam Papua yang penuh dengan sumber makanan di dalam hutan. Saya menyajikan makanan tradisional Papua yang ada dalam hutan untuk mereka makan. Dan saya sudah lakukan dan menyuguhkan makanan tradisional Papua di dalam hutan untuk Mick Jagger, Melinda Gates dan Zazie (penyanyi Prancis). Saya menyajikan pizza yang diolah dari sagu dan ulat sagu kepada mereka. Mereka bilang sangat lezat. Dan mereka pulalah yang mempopulerkan pizza dari sagu dan ulat sagu sampai terkenal di seluruh dunia lewat tulisan di media online dan cerita lisan kepada rekan-rekan mereka,” tuturnya bangga.
Charles Toto & Inggrid Dwiputra di lokasi Festival Saqo dekat Jayapura, images Courtesy sugarandcream.co
Ayah dari Rupert Abihud Toto ini tidak hanya sebagai pembuka jalan dan jendela bagi mata dunia melirik dan meraskan lezatnya makanan lokal Papua terkenal di luar negri. Dia pun salah satu sosok berbeda yang memberi warna tersendiri dalam batin setiap petualang dunia di hutan rimba Papua memperkenalkan salah satu sisi Papua di mata dunia lewat keahliannya memasak dan menyajikan makanan tradisional Papua. Sehingga bagi petualang dan para turis tak perlu membawa bahan makanan yang banyak. Cukup membawa Cato dan 80 orang anggotanya menjadi koki pribadi selama perjalanan dengan memanfaatkan bahan lokal yang tersedia dalam hutan Papua.
Cato bersama pemuda-pemudi Papua sudah membentuk Papua Jungle Chef Community sejak 1997. Komunitas ini menawarkan jasa koki untuk menemani orang-orang yang ingin menelusuri hutan Papua. Kelompok yang dibentuk Cato tidak hanya memenuhi kebutuhan makan. Tetapi mereka mengenalkan sekaligus melestarikan pangan tradisional
Suami dari pasangan sejati Ribka Jakadewa ini, kini dijuluki sebagai Jungle Chef. Julukan itu diraihnya justru tidak sengaja mengawalinya di bidang kuliner. Karena, Cato pernah bercita-cita menjadi seorang Sarjana Hukum, dengan niat membela kaum-kaum yang diperlakukan tidak adil. Namun, keinginannya terhalang karena Cato tak berhasil masuk SMA.
“Daripada menganggur, lebih baik saya sekolah ke sekolah yang ada saja. Waktu itu yang ada hanya SMKK,” kenangnya dengan dialek kental Jayapura.
Di Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK), Cato memilih jurusan Tata Boga di Kota Jayapura pada tahun 1993. Di sekolah itu siswa laki-laki tidak banyak hanya ada delapan orang laki-laki. Cato sempat merasa rendah diri karena stereotip SMKK yang dinilai hanya cocok untuk siswa perempuan. “Setelah belajar, ternyata banyak hal yang bisa saya dapatkan di situ,” kenangnya.
Cato mengaku belajar memasak dari tingkat dasar. Mulai dari tata hidang sampai memasak berbagai jenis makanan standar perhotelan. Lulus dari SMKK, kata Cato bekerja di sebuah hotel paling mewah di Kota Jayapura, di Hotel Sentani Indah. Cato berterus terang karir pertamanya justru bukan sebagai juru masak, malah sebagai pencuci piring atau dishwasher.
Pengalaman itulah yang memberinya dorongan membentuk Papua Jungle Chef Community. Alasan pembentukan Jungle Chef Community itu pula seiring dengan tebukanya hubungan penerbangan langsung dari Biak-Honolulu, AS. Buah manis dari akses Biak-Honolulu itu, turis membanjir mendatangi Papua dan selalu bepergian ke hutan-hutan rimba Papua. Mereka membawa banyak barang, terutama makanan instan. Mereka banyak menyewa tenaga pengangkut dan biaya yang dibutuhkan sangat tinggi.
“Saya berpikir. Masa kita masuk ke dalam hutan harus membawa bahan mentah begini. Sementara, Saya tahu di dalam hutan juga banyak makanan yang tersedia oleh alam, bahkan sebenarnya lebih bersih dan organik,” tuturnya.
Dari situlah ayah satu anak ini mulai belajar mengolah bahan makanan lokal yang tersedia di dalam hutan. Ia membeli hasil buruan atau hasil kebun yang dijual masyarakat dalam hutan. Dengan demikian, perlengkapan makanan yang dibawa menjadi lebih praktis.
Cato mengaku ribuan turis sudah merasakan hidangan yang disajikannya. Mereka adalah turis, produser acara petualangan dari Discovery Channel dan National Geographic hingga selebritis ternama, seperti Mick Jagger, Melinda Gates dan Zazie (penyanyi Prancis). Ia tidak hanya memasak bahan lokal, tetapi memadukannya dengan kuliner modern.
Sagu adalah bahan makanan yang memiliki arti penting dalam kehidupan orang Papua. Bagi Cato, sagu merupakan cerminan kehidupan, karena seluruh bagian pohon sagu memiliki berbagai kegunaan. Akar pohon sagu menjadi sumber air, kulitnya dapat diolah menjadi lantai rumah, isinya menjadi tepung dengan kandungan karbohidrat tinggi, dahannya dapat dibuat sebagai dinding rumah atau baju adat dan ampasnya yang menyerupai jamur juga dapat dikonsumsi.
Meskipun demikian, ada kekhawatiran lain yang dipikirkan Cato dan teman-temannya di Papua Jungle Chef Community, yaitu degradasi pola makan. Orang-orang Papua sendiri justru mulai meninggalkan pangan tradisional mereka karena pengaruh makanan dari luar. “Sebelumnya, makanan Papua hanya dibakar saja. Tidak pakai banyak rempah-rempah,” tuturnya.
Cato Papua Jungle Chef Community mengangkat kembali masakan tradisional Papua dengan menggunakan bahan-bahan lokal dari dalam hutan. Beberapa menu khas Papua disajikan pada sesi Teater Kuliner di Ubud Food Festival 2017 lalu.
Salah satu menu andalan adalah Sagu Sep. Bentuknya mirip pizza yang berasal dari Italia. Bedanya, Sagu Sep berbahan dasar sagu yang dicampur kelapa parut dengan isian daging rusa dan ulat sagu. Sagu Sep sebenarnya makanan tradisional Papua yang disajikan saat upacara kematian tetua adat. Biasanya, Sagu Sep memiliki diameter 7-8 meter karena dimakan beramai-ramai.
Menu lainnya juga berbahan dasar sagu, yaitu Sinole. Para turis kerap menyebutnya Papuan Risotto. Sinole dibuat dengan menggunakan sagu dan ikan tuna lalu diberi kuah hitam. Warna hitam pada kuah berasal dari garam hitam Papua. Uniknya garam ini bukan berasal dari air laut, melainkan air danau, sebab asalnya dari daerah pegunungan Lembah Baliem.
Menu terakhir ialah Sagu Ball. Sekilas tampak seperti Cimol, jajanan khas Jawa Barat. Bahan dasarnya tetaplah sagu yang dibentuk bulat menyerupai bola. Penyanjiannya dilengkapi bumbu kacang.
“Sudah saatnya sagu diolah menjadi makanan populer, seperti tepung, biskuit dan lain sebagainya,” katanya.
Pemberdayaan Pemuda di Papua
Cato telah melatih banyak pemuda di berbagai wilayah di Papua untuk menjadi juru masak. Pelatihan tersebut tidak dilakukan secara khusus, melainkan mengambil waktu senggang saat melakukan perjalanan. Sebuah perjalanan dapat memakan waktu paling sedikit 3 hari hingga berbulan-bulan lamanya. Setiap berhenti di sebuah wilayah, maka inilah kesempatan Cato membagi keahlian memasaknya kepada pemuda setempat. Salah satunya pemuda asal Lembah Baliem, Martinus. Dulunya dia bukan seorang juru masak profesional. Ketika bergabung bersama Cato dan Papua.
Selama menjadi Jungle Chef, kata Cato kerap menghadapi bencana alam, misalnya bencana badai saat berlayar di lautan lepas. Suatu ketika, Cato pernah terdampar di sebuah pulau selama empat hari. Jika bencana terjadi, Cato harus siap dengan perencanaan makanan lain. Oleh sebab itu, Cato tetap membawa cadangan makanan instan jika menghadapi bencana atau melewati wilayah tanpa kehidupan.
Setiap wilayah di Indonesia memiliki potensi makanan yang patut dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Cato telah membuktikannya dengan sagu dan makanan tradisional kreasinya. Pangan lokal juga bisa naik kelas. Semoga!
COLEFAX & FOWLER PRESENTS THE GERVASONI COLLECTION
In the store windows of Via Palermo in Milan, Gervasoni collaborates with Colefax & Fowler creating a harmonious fusion of furniture and textiles.
read moreRIMADESIO OPENS A NEW FLAGSHIP STORE IN PARIS
Rimadesio in Paris. Rimadesio has just inaugurated its new flagship store in Paris, located at 25 Avenue Rapp, in the prestigious 7th arrondissement.
read moreART JAKARTA 2024 – The Exhibition
Celebrating the visual arts at Art Jakarta 2024, took place from October 4-6 at JIEXPO Kemayoran Jakarta, showcased a diverse array of contemporary visual...
read moreMOOOI - DRAPE LIGHT BY JAMIE WOLFOND
Moooi presents Jamie Wolfond's Drape Light, a new magnificent suspended lighting fixture that can elevate any dinner party to an elegant ambiance.
read moreA Spellbinding Dwelling
Rumah milik desainer fashion Sally Koeswanto, The Dharmawangsa kreasi dari Alex Bayusaputro meraih penghargaan prestisius Silver A’ Design Award 2017.
read moreThomas Elliott, Translating the Dreams of Spaces and Shapes
Selama hampir seperempat abad tinggal di Indonesia, simak perbincangan dengan arsitek dan desainer Thomas Elliott.
read more