presented by

JAGAD GALLERY PRESENTS ‘UNGKAP JAGAD’

SHARE THIS
2.67K

Published by Sugar & Cream, Friday 17 February 2023

Text and images courtesy of Jagad Gallery

Jakarta, 28 January – 17 February 2023

List of Artist:
Agapetus // Awang Behartawan // Budi Ubrux // Dadi Setiadi //
Daniel Kho // Elyezer // I Made Kenak Dwi Adnyana // Ipan Lasuang // Ivan Sagita // Koeboe Sarawan // Mufti Handayani // Pranagung // Slamet W

 

“All artists do is produce the work, the dealer has to create its allure.” —John Kasmin via Michael Shnayerson (2019)

Pameran “Ungkap Jagad” ini menampilkan puspa ragam karya seni rupa— lukisan, gambar, dan patung—ciptaan tiga belas perupa dari lintas generasi seni rupa Indonesia yang tinggal dan berkarya di Bali, Denmark, Jawa Timur, Jerman, dan Yogyakarta.

Pemilik Galeri- Rambat dan Mufthi Handayani

Tulisan ini saya kira tak boleh mendahului penonton dalam pengesanan dan penilaian semua karya seni rupa yang terpajang di galeri ini. Itu sebabnya, selain hanya bisa mengatakan bahwa semua karya seni rupa (wan) dalam pameran bisa jadi merefleksikan sebagian selera estetik dan jaringan sosial si “dealer dan owner galeri” itu—izinkan saya berbagi perspektif untuk mengapresiasinya.

Saya ingat, Leonardo da Vinci pernah berkata: “Pelukis yang baik pada dasarnya harus melukis dua hal: manusia dan ide-ide di kepala manusia.” Antropolog Jack Wheatherford mengutip kata-kata pelukis “Monalisa” yang termasyhur itu dalam bukunya yang terkenal, The History of Money (1991), yang sudah beredar dalam edisi bahasa Indonesia sejak Juli 2005. Seraya bersetuju dengan da Vinci, saya ingin menambahkan bahwa setiap perupa (tak hanya pelukis) sudah seharusnya membikin karya yang menggurat pengalaman estetis manusia dan menyulam ide-ide di kepala manusia sebagai mode representasi simbolik yang memungkinkan kita bertandang ke dunia “lain” dari kehidupan manusia.

Dengan begitu, karya seni rupa adalah suatu wujud visual yang mengalihubah secara estetis rancangan (gagasan atau cita-cita) yang tersusun dalam pikiran manusia. Inilah yang dimaksud filsuf Martin Heidegger dengan erscheinen lassen, yaitu membuat terlihat sesuatu yang tersembunyi lewat kreasi artistik di ruang terbuka. Dengan demikian, mengikuti Heidegger, dapat dikatakan bahwa karya seni rupa memiliki fungsi inagural yang “menempat-ke dalam-karya” (set- into-work) gagasan perihal pameran sebuah dunia yang lain, di mana mimpi- mimpi manusia menjadi berarti dan bermakna.

Agapetus | Dady Setyadi | Daniel Kho | Budi Ubrux

Dalam peran itu, karya seni rupa mengizinkan terjadinya percakapan antara pengetahuan perupa yang membikin karya seni rupa dan persepsi khalayak yang mengapresiasi karya seni rupa. Dari sini, dari aktivitas kreasi dan apresiasi itu, pada hemat saya, wacana seni rupa tersusun secara dialektis.

Itu sebabnya, selembar gambar, sepotong lukisan, dan sebiji patung, milik seorang perupa, seperti halnya seperkamen tulisan milik seorang penulis, sejumput isi pikiran, yang dibuat untuk keperluan suatu pergelaran seni rupa seringkali diniatkan menjadi sejumput isi pikiran, visualisasi suatu peristiwa, rekaman suatu percakapan, atau dokumentasi simpati, empati, atau antipati perupa terhadap kondisi yang dihadapinya bersama banyak orang lain, sebagaimana persis maklumat sosiolog Ignas Kleden dalam Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia (2002) untuk sebuah tulisan, artikel, atau esei pendek milik seorang penulis yang diterbitkan dalam media massa cetak.

Pada titik itu saya teringat sosiolog Karl Manheim—(dalam hal ini saya akan meminjam sepenuhnya paparan Ignas Kleden dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan [2004: 149-150], tapi dengan mengganti frasa “karya sastra” dan “sajak” menjadi “karya seni rupa” dan “lukisan”)—yang pernah mengajukan teori bahwa setiap karya seni (jadi termasuk karya seni rupa) mau tak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda.

Awang Behartawan | Ivan Sagita | Slamet W | Pranagung

Tingkat pertama dinamakan objective meaning atau makna obyektif, yaitu hubungan suatu karya dengan dirinya sendiri: apakah dia gagal atau berhasil menjelmakan keindahan dan pesan yang hendak disampaikannya. Suatu karya seni rupa adalah suatu obyek yang mengobyektivasikan suatu nilai atau antinilai; keindahan, pembaruan, orisinalitas, otentisitas atau peniruan, dan kepandaian teknis semata.

Tingkat kedua adalah expressive meaning atau makna ekspresif berupa hubungan karya itu dengan latar belakang psikologi penciptanya: apakah sebuah lukisan diciptakan untuk mengenang suatu saat penting dalam kehidupan penciptanya; kelahiran anak, kematian ayah atau ibu, atau putusnya hubungan cinta dengan kekasih. Suatu karya seni rupa adalah ekspresi suatu momen tertentu dari kehidupan pencipta.

Tingkat ketiga adalah documentary meaning atau makna dokumenter berupa hubungan antara karya itu dengan konteks sosial penciptaan: pengaruh- pengaruh sosial-politik atau kecenderungan budaya yang tercermin dalam suatu karya. Suatu karya seni rupa adalah suatu dokumen sosial atau dokumen human tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran di mana suatu karya diciptakan dan dilahirkan.

Ipan Lasuang

Dengan itu, saya pun teringat seorang miniaturis terkenal dari Istambul—yang hidup di masa Kesultanan Ottoman—pernah berkata: “Lukisan-lukisanku mengungkapkan apa yang dilihat oleh pikiran, bukan oleh mata. Tetapi lukisan, seperti yang kau ketahui dengan baik, adalah perayaan bagi mata. Jika kau gabungkan kedua gagasan ini, duniaku akan muncul, Yakni: Lukisan menghidupkan apa yang dilihat oleh pikiran, sebagai perayaan bagi mata. Yang dilihat oleh mata di dunia memasuki lukisan hingga mencapai derajat bahwa itu melayani pikiran. Akibatnya, keindahan adalah penemuan mata di dunia kita atas apa yang telah diketahui oleh pikiran.”

Kita bisa mendapatkannya dalam novel Orhan Pamuk, sastrawan Turki dan peraih Nobel Sastra 2006, yang berjudul My Name is Red—Namaku Merah Kirmizi (2007: 494). Pada hemat saya, pernyataan tersebut dapat bermanfaat sangat sebagai sudut-pandang perbandingan dalam memahami status filosofis karya- karya seni rupawan peserta pameran ini. Karena itu, baiklah kita pahami bahwa para perupa menatap dunia di dalam imajinasinya ketimbang dunia di luar kepalanya. Dengan imajinasi, mereka tak hanya menghirup hidup, tapi juga— pinjam kata-kata mendiang kritikus sastra A.Teeuw—mengatasi kenyataan yang memaksa manusia serta menemukan yang hakiki untuk kebahagiaan.

Itu sebabnya, imajinasi—yang menjelma dalam karya seni rupa—bukan perkara sederhana bagi seni rupawan. Ia adalah bahasa, citra, dan media—yang memungkinkan mereka mengungkapkan pandangan personal tentang cerita- peristiwa dan sosok-pokok, dengan segala warna-warninya, di dunia.

Presented by Interni Cipta Selaras

Dengan begitu, kita boleh percaya bahwa karya seni rupa menjelmakan cara pandang seni rupawan dalam memandang dunia dan segala isinya. Di sini, tentu saja, seperti ditengarai kritikus seni John Berger dalam buku termasyhurnya, Ways of Seeing (1977: 8), ia dipengaruhi oleh apa yang diketahui dan dipercayainya.

Tak kurang dari itu adalah kesadaran bahwa melihat merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari kesadaran seni rupawan dalam menangkap kejutan dan kegairahan hidup—betapapun itu samar tergurat dalam karya-karyanya. Karena itulah menjadi bisa dimengerti jika Paul Klee mendaku: “Seni itu tidak meniru yang terlihat, tapi membuat sesuatu menjadi terlihat.”

Selain itu perlu juga kita pahami bahwa kata-kata bisa membantu alih-alih memengaruhi cara melihat kita atas karya seni rupa. Dengan begitu, penting bagi kita untuk tidak mengabaikan “judul”—karena ia, setidaknya, bisa menghantarkan kita masuk-menemu “isi” atau “pokok perupaan” (lazimnya berupa potret, alam-benda, lanskap, atau genre) yang tergurat dalam sebuah karya seni rupa—betapa pun ia samar-samar adanya.

Elyezer | Koeboe Sarawan | I Made Kenak Dwi Adnyana

Kalau tak bisa—alih-alih sukar untuk memahami “judul” dan menangkap “makna” suatu karya seni rupa—cobalah cari tahu “kepada siapa” karya itu ditujukan sang perupanya. Perlu diketahui, ini adalah cara melihat filsuf Prancis termasyhur, Roland Barthes, untuk menemukan “kebijaksanaan seni” melalui karya-karya Cy Twombly (Periksa Roland Barthes, “The Wisdom of Art” dalam Norman Bryson (ed.), Calligram: Essays in New Art History form France, Cambridge: Cambridge University Press, 1988, hlm. 166-180).

Ikhtiar untuk mencari “kebijaksanaan seni” sama artinya dengan upaya terus- menerus untuk menemukan “makna” yang tersirat dalam suatu karya seni rupa dan mencari jawaban atas pertanyaan: Bagaimana memahami dan menikmati karya seni rupa?

Sejumlah filsuf, pemikir, teoritikus, dan seniman telah mengembangkan teori atau memformulasikan gagasan berkenaan dengan pertanyaan di atas. Salah seorang di antaranya adalah pelukis Marcia Hafif melalui esainya berjudul “Beginning Again” yang terbit di majalah Artforum, September 1978.

Mufti Handayani

Tujuh tahun berselang, menimbang pentingnya esai tersebut, Richard Hertz dari Art Center College of Design, California, memilihnya—sebagai satu dari tiga puluh satu esai seni rupa terbaik dalam khazanah kritik seni rupa kontemporer—untuk diterbitkan dalam buku suntingannya, Theories of Contemporary Art (1985: 11-15).

Dalam esai tersebut, mengartikulasikan gagasannya pada seni lukis, Hafif mengemukakan bahwa lukisan dapat dipahami dalam empat bagian penting. Pertama, lukisan eksis secara fisik—sebagai objek di dunia yang dapat ditanggapi langsung—ia taktil, visual, dan retinal. Kedua, faktor-faktor teknis ada dan berkembang dalam penciptaan lukisan; kualitas bawaan material memengaruhi metode (melukis); aspek-aspek formal karya (seni lukis) dapat dipahami dan diuji—dan karena itu harus memenuhi kriteria yang pasti. Ketiga, lukisan juga hidup sebagai statemen historis—ia dibuat pada suatu masa khusus dan mewakili, menggambarkan atau melambangkan pandangan seniman tentang kedudukan lukisan pada masa itu. Keempat, lukisan menggambarkan suatu bentuk pemikiran—secara tidak langsung memantulkan pandangan dunia seniman dan masanya serta memancarkan pengalaman-pengalaman spiritual dan filosofis.

Selain Marcia Hafif, ada John Baldessari. Lukisannya berjudul Quality Material (1966-68) merupakan sebuah pemahaman yang lebih spesifik dalam menilai mutu sebuah karya seni lukis. Menurut Baldessari, ada tiga hal penting yang— jika digabungkan—akan memungkinkan sebuah lukisan menjadi sempurna. Pertama, kualitas material. Kedua, inspeksi yang saksama. Ketiga, kecakapan yang memadai.

Lukisan itu, hemat saya, bukan hanya sebuah lukisan, melainkan juga lukisan tentang lukisan. Lukisan itu mengagumkan karena ia berhasil mengawinkan dengan sempurna apa yang disebut Susan Sontag dalam Againts Interpretation (1990) dengan “seni sebagai sebuah gambaran kenyataan” (the model of a picture) dan “seni sebagai pernyataan seniman” (the model of a statement).

Seluruh uraian di atas, bagi saya, sangat bermanfaat untuk menerangkan kedudukan karya-karya seni rupawan dalam pameran ini. Sementara itu, sekali lagi, bagi pemirsa, uraian tersebut dapat dimanfaatkan sebagai salah satu perspektif bandingan untuk memahami dan menikmati karya-karya seni rupa (wan) yang terhimpun dalam pameran ini. (text by Wahyudin)

Coulisse | INKZipblind & VF