Text by Esti Nurjadin & Ruben William, Photography by Merwin Adenan, Styling by Janto Wihardja.
Bagi Leksmono Santoso, kecintaan akan nilai historis dan kultur merupakan nadi yang menghidupkan suatu hunian. Berbekal penjelajahan ke berbagai pulau di Indonesia, huniannya merangkum peradaban
Di atas tanah seluas 1.200, Leksmono Santoso membangun sebuah hunian yang pula ia fungsikan untuk menampilkan berbagai koleksi antiknya. Meski berprofesi sebagai seorang wiraswasta yang menjalankan usaha di bidang perjalanan, namun nama pria yang akrab disapa Leks ini dikenal luas sebagai salah satu figur budayawan Tanah Air. Telah berkecimpung di industri travel selama lebih dari 25 tahun, dengan mengkhususkan jasa pada remote destinations di pelosok Indonesia, Leks selalu memimpin sendiri ekspedisinya. Dari perjalan-perjalanannya tersebut, Leks rajin mengumpulkan benda-benda kuno yang merepresentasikan kebudayaan lokal, sekaligus menjadi memorabilia sarat makna.
Diberi nama Roemah Djawa, semua koleksi artefak bersejarah milik Leks dan sang istri, Linda Hahn, tersimpan di dalamnya. Nama Roemah Djawa sendiri merujuk pada fitur rumah di mana bagian depan dari bangunan terdiri dari dua buah rumah joglo asli Jawa Tengah. Leks lantas mengembangkannya menjadi bangunan yang terdiri dari empat ruangan dengan mengadopsi sistem tata ruang rumah tinggal Jawa. “Saat memasuki bagian depan dari Roemah Djawa, bangunan ini beserta isinya seolah bercerita mengenai traveling from the past to the present day of Indonesia. Saya ingin tamu yang datang ke Roemah Djawa dapat memperoleh pengalaman kultural yang tak terlupakan,” terang Leks.
Rumah joglo berukuran besar yang digunakan sebagai ruang tamu utama didapatkan pemilik dari Pati, Jawa Tengah. Sedangkan rumah joglo yang sedikit lebih kecil diperoleh dari Kudus, Jepara, difungsikan sebagai Ruang Cina. Palet warna merah mendominasi ruang yang diperuntukan sebagai ruang tidur tamu ini, lengkap dengan berbagai artefak dari sejumlah wilayah Indonesia yang mendapat pengaruh dari peradaban Cina pendatang.
Menyoal warna. Hal tersebut sepertinya memegang peran krusial pada hunian ini. Selain karena aspek estetika, bagi sang pemilik, warna bersifat treatment for the eyes and the mind. “Warna di dinding membuat siapapun yang memasuki ruangan akan lebih fokus memperhatikan artefak yang dipajang. Saat orang tersebut pindah ke ruangan lain, dia akan lupa dengan ruangan sebelumnya dan fokus kepada artefak di ruang berikutnya. Warna juga untuk menyegarkan pandangan. Selain itu, saya menggunakan warna-warna cerah untuk elemen kejutan,” jelasnya.
Ruang lainnya yang juga menarik ialah Ruang Batik dan Tekstil Indonesia. Di dalamnya, berjajar rapi kain batik kuno yang mayoritas berasal dari daerah pesisir pantai Utara seperti Cirebon, Indramayu, Rembang, Lasem, Wedusan, Gresik, dan Madura. Gebyok dari kayu jati asal Sampang, Madura, menjadi pintu masuk menuju area duduk Ruang Batik dan Tekstil Indonesia ini. “Keseluruhan artefak yang ada jumlahnya melebihi 7.000, mulai dari fosil manusia yang ditemukan di Sangiran dan Mojokerto,primitive art yang berusia tidak kurang dari 1.500 tahun, peralatan domestik dari zaman Hinduisme, perhiasan dari masyarakat awal Cina, serta kain-kain kuno berupa batik, tenun, dan ikat, bahkan benda milik suku-suku terpencil di Indonesia,” tutup Leks.